20 Oktober 2023

Lompatan Teknologi atau Mengejar Ketertinggalan, Pilih Mana?


Konsep kunci. Lompatan teknologi dan mengejar ketertinggalan adalah dua hal yang memiliki pemahaman berbeda. Lompatan teknologi adalah perubahan teknologi yang tiba-tiba, sedangkan mengejar ketertinggalan adalah proses bertahap. Para analis kebijakan bisa membangun preskripsi menggunakan dua pendekatan berbeda tersebut, mengikuti ketentuan instansi masing-masing. Untuk itu, mereka perlu lebih menguasai berbagai instrumen kebijakan iptek dan inovasi. 


Dalam tiap langkah percaturan pembangunan di tanah air, istilah "lompatan teknologi" selalu terdengar begitu mengguggah dan menyenangkan hati khalayak. Istilah ini merujuk pada perubahan luar biasa dalam skala besar, baik itu dalam berita pengembangan teknologi terbaru maupun penerapannya pada berbagai proyek tercanggih.

Namun, dalam kondisi di mana Indonesia masih memiliki reputasi tertinggal dalam kapabilitas teknologi, kita perlu setidaknya mempertanyakan frekuensi lompatan teknologi yang harus kita lakukan demi mencapai tujuan pembangunan. Apakah lompatan selalu lebih baik dari bergerak perlahan namun pasti?

Lompat Teknologi vs Mengejar Ketertinggalan

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita bisa merenungkan ajaran dari para ahli studi kebijakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi seperti Prof. Jan Fagerberg dan Prof. Manuel Mira Godinho (2003). Mereka memberi petunjuk bahwa "lompatan teknologi" (technological leapfrogging) berbeda maknanya dengan "mengejar ketertinggalan teknologi" (technological catching-up). 

Fagerberg dan Godinho mengungkapkan lewat studi kasus (2003, h. 19) bahwa suatu negara kecil bisa menikmati lompatan teknologi lewat pendekatan lebih pasif, misalnya dengan mengizinkan investor asing membawa dan mempergunakan teknologi milik mereka. Sebaliknya, mengejar ketertinggalan teknologi memiliki makna kejadian yang evolutif, lebih gradual.

Bila kita ringkas:

  • Lompatan teknologi adalah perubahan teknologi yang terjadi secara tiba-tiba, melewatkan langkah-langkah yang para pemimpin pengembangan teknologi global perlukan untuk mencapai tingkat teknologi yang lebih tinggi. 
  • Technological catching-up atau mengejar ketertinggalan teknologis adalah suatu proses progresif meningkatan kapasitas teknologi suatu negara atau industri di negara berkembang agar mengikuti kemajuan teknologi di negara-negara maju.

Pola lebih perlahan kadang harus jadi pilihan alamiah, misalnya karena suatu negara tak bisa menghindari mewariskan faktor kurangnya sumber daya terdidik. Bagaimanapun, dari studi kasus lain atas  negara yang kerap disebut terjebak dalam perangkap masyarakat kelas menengah (middle income trapped alias negara gagal makmur), yang mutlak pantang terjadi di Indonesia adalah lembaga-lembaga pengembang iptek tidak memiliki fungsi langsung dengan struktur pembangunan ekonomi [2].

Dengan demikian, mengejar ketertinggalan merupakan proses institusi-institusi mengenali dan mengkoreksi diri untuk menciptakan kebiasaan sebagaimana negara maju sudah wujudkan. Mengejar ketertinggalan bukan hanya masalah "iptek", namun juga ekonomi, politik, dan budaya [1].

Tak Semua Mau

Bila melihat dari kacamata ekonomi mikro, teknologi memegang peranan kunci dalam meningkatkan produktivitas dan efisiensi di seluruh sektor industri. Namun, peraturan dan hukum hak kekayaan intelektual serta hambatan keahlian halus (tacit) yang tak bisa dipelajari dari literatur bisa menjadi penghalang bagi suatu perusahaan dalam memanfaatkan inovasi milik perusahaan lain, hingga suatu teknologi komponen atau proses yang unggul tak begitu saja menyebar di pasar industri [3].

Penting bagi kita untuk memahami bahwa inovasi tidak hanya berwujud dalam produk akhir, melainkan juga dalam komponen atau suku cadang, dan mesin atau metode produksi. Besarnya investasi untuk menghasilkan inovasi yang bernilai tinggi karena posisinya yang vital bagi suatu kelompok industri (disebut "teknologi kunci") akan menyulitkan negara berkembang ikut terjun memproduksinya. 

Biarpun sulit, kenyataaannya negara-negara yang terlambat maju dapat secara revolusioner melakukan lompatan teknologi di industri dengan mengabaikan teknologi lama dan fokus pada teknologi baru yang invensi-invensi di dalamnya masih berkembang di seluruh dunia. Namun, agar bisa berhasil melompat secara teknologi, negara tersebut tetap perlu mengejar secara aktif lewat jalan litbang [4].

Tapi, apa alasan ada industri yang mau susah payah berlomba dalam invensi? Karena faktor keuntungan penggerak pertama (first mover's advantage), yaitu keunggulan dalam penguasaan, penciptaan jaringan, serta pembentukan skala dan pengaksesan pasar yang suatu industri dapatkan karena masuk sebagai pionir dalam suatu segmen bisnis tertentu (lihat gambar di bawah).


Klik gambar untuk memperbesar.
Ojol adalah segmen bisnis teknologis di mana Indonesia memiliki industri yang bisa menikmati keuntungan penggerak pertama. Di bidang ini,  meskipun sangat inspiratif, sulit bagi pemain baru menyaingi ide-ide baru yang aktor pionir kembangkan.

Biar begitu, di tataran negara, perlu kita sadari, kebangkitan teknologi bangsa bukanlah suatu keputusan normal yang suatu kelompok industri begitu saja bisa putuskan meskipun mereka termasuk grup terunggul. Meminjam teorema Coase yang ilmu ekonomi ajarkan, suatu kelompok industri bisa saling bernegosiasi sehingga semua yang berkepentingan dapat mencapai kesepakatan di mana semua partisipan menjadi lebih baik dengan keputusan yang ada dan hasilnya efisien [3].

Dari proyeksi teorema Coase kita bisa mengatakan tidak semua industri mencari keuntungan penggerak pertama karena ia bisa memancing gesekan persaingan baru. Bagi industri umumnya, lebih cepat atau lambat memunculkan suatu produk tidak selalu jadi masalah sehingga tidak mengherankan bahkan di seantero ASEAN tingkat aplikasi paten teknologi baru tak pernah banyak berubah karena toh mereka bisa selalu mengandalkan produsen dari Asia Timur dan negara maju lain (lihat grafik di bawah).



Klik gambar untuk memperbesar.
Brdasarkan data yang ada, kita bisa mengatakan intensitas invensi industri di negara-negara kawasan ASEAN tidak pernah meningkat secara signifikan misalnya bila dibandingkan dengan capaian para produsen teknologi di Asia Timur.

Jelaslah sekarang mengapa sejarah mengajarkan bahwa di era modern pihak pemerintahlah, bukan industri,  yang pertama kali motivasi memiliki untuk menggerakkan roda kebijakan teknologi untuk meningkatkan daya kompetisi [5]. Suatu perusahaan bisa tumbuh menjadi raksaksa dan sangat canggih, namun ia tidak akan sanggup mengemban amanah menggantikan peran pemerintah menciptakan perbaikan di seluruh masyarakat, termasuk dalam urusan iptek dan inovasi yang mereka sendiri butuhkan.


Berbagai Instrumentasi

Bagian di atas menggambarkan bagaimana ilmu ekonomi melihat tanggung jawab pemerintah dalam hal iptek dan inovasi adalah besar dan tak tergantikan. Tidak heran bila kepala pemerintahan di negara maju, seperti Amerika Serikat dan Jepang, mengawasi secara langsung masalah kebijakan iptek dan inovasi nasional.

Dengan memahami posisi pemerintahan ini kita bisa mengatakan setiap institusi sektoral di Indonesia memiliki kebutuhan dalam hal mengejar atau melakukan lompatan dalam bidang iptek dan inovasi. Para analis yang terlibat dapat memilihkan preskripsi pola agenda inovasi iptek - baik melakukan lompatan teknologi atau mengejar ketertinggalan - sesuai kebiasaan atau minat pimpinan institusi masing-masing.

Kini, kita bisa katakan, bila media menyoroti permasalahan sektor-sektor kurang produktif dan kompetitif, maka hal tersebut sangat mungkin erat kaitannya dengan kebijakan iptek dan inovasi. Oleh sebab itu, para analis perlu melihat berbagai opsi instrumen dalam ranah kebijakan iptek dan inovasi selain insentif pajak litbang sehingga iptek dapat memilliki seluruh konstruksi hulu-hilir (lihat gambar di bawah).


Klik gambar untuk memperbesar.
Hubungan antara ranting kebijakan bidang ilmu pengetahuan (sains), teknologi, dan inovasi beserta instrumen-instrumennya.
Sumber: Lundvall dan Borrás (2006) [5]


Demikianlah ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam pembangunan seluruh sektor perekonomian. Kepentingan pemerintahan ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi bukanlah masalah apakah para peneliti, teknolog, atau para cendekiawan membawa perubahan dengan cepat atau lambat, namun pada apakah suatu negara mencapai pembangunan berkelanjutan. 


Catatan:

[1] Lihat Fagerberg dan Goidnho (2003). Fagerberg, J., & Godinho, M. M. (2003). Innovation and catching-up. Ottawa, Kanada; Lokakarya “The Many Guises of Innovation: What we have learnt and where we are heading.”

[2] Intarakumnerd, P., Chairatana, P., & Tangchitpiboon, T. (2002). National innovation system in less successful developing countries: the case of Thailand. Research Policy, 31, 1445–1457. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/S0048-7333(02)00074-4

[3] Lihat misalnya Mankiw (2017). Mankiw, N. G. (2017). Principles of microeconomics (7th ed.). CENGAGE Learning Custom Publishing.

[4] Lihat Lee dan Lim (2001). Lee, K., & Lim, C. (2001). Technological regimes, catching-up and leapfrogging: findings from the Korean industries. Research Policy, 30(3), 459–483. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/S0048-7333(00)00088-3

[5] Lihat Lundvall dan Borrás (2006). Lundvall, B.-Å., & Borrás, S (2006). Science, Technology, and Innovation Policy . In S. Borrás (Ed.), The Oxford Handbook of Innovation. essay. Retrieved from https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199286805.003.0022.

13 Oktober 2023

lnstrumen Insentif Pajak Litbang: Solusi Memadai?


Konsep kunci. Suatu instrumen kebijakan iptek dan inovasi punya keistimewaan dapat berfungsi dalam berbagai isu masyarakat dan sektor pemerintahan.  Para pelaksananya harus mengevaluasi dan mengadvokasi agar relevan dengan lebih banyak isu.  Untuk meningkatkan keberhasilan, operator kebijakan insentif riset perlu mempertimbangkan instrumen halus (soft instruments) untuk menarik dukungan pemerintah sektoral.


Indonesia telah mengeluarkan PMK Nomor 153/PMK.010/2020 yang memberikan keringanan penghasilan bruto hingga 300% untuk biaya penelitian dan pengembangan (litbang) tertentu. Namun, apakah insentif ini cukup untuk mendorong investasi litbang di Indonesia?

Berdasarkan sejarah, insentif pajak riset yang pertama kali lahir di Amerika Serikat (AS) pada 1981 di tengah perang dagang mereka dengan Jepang, tidak langsung untuk mendorong industri menghasilkan produk baru. Kala itu, industri AS sudah menjadi pelaku dominan litbang nasional dan problem mereka adalah peraturan pajak yang ada tidak banyak menolong dalam memperhitungkan kegagalan atau keberhasilan litbang [1][2]. 

Arahan perundangan AS antara lain menolong mempercepat penyusutan aset litbang dan membantu perusahaan multinasional di sana untuk memenuhi ketentuan mengalokasikan sebagian litbang domestik terhadap pendapatan yang anak perusahaan hasiIkan di luar negeri [1]. Kemampuan teknologi yang tinggi akan memotivasi industri beroperasi secara global.

Kejadian ini menunjukkan bahwa insentif pajak riset bukanlah jenis instrumen yang tepat untuk mengatasi masalah umum sangat rendahnya minat industri berinvestasi litbang seperti Indonesia alami. Dengan reputasi punya daya kompetisi ekspor teknologi tinggi yang sangat rendah, kita bisa perkirakan hanya segelintir perusahaan di Indonesia yang aktif dalam riset hingga tak banyak industri swasta maupun BUMN yang punya kompetensi memanfaatkan insentif ini.

Secara prinsip, industri bukanlah jenis institusi yang harus melakukan litbang. Malah sesungguhnya adalah logis bagi seorang pengusaha untuk menghindar terlalu banyak berinvestasi di litbang karena misalnya adanya faktor keberadaan pemain lain yang sudah kuat [3].

Bila kita melihat model dari sejarah revolusi budaya inovasi di Asia Timur, yang perekonomian Indonesia lebih butuhkan adalah kampanye masif agar sebanyak-banyaknya industri mengetahui manajemen litbang dan aktif meningkatkan kandungan teknologi dalam bisnis hariannya. Setelah punya keyakinan lebih tinggi, niscaya industri akan memilih secara mandiri untuk lebih aktif berlitbang.

Karena itu, kita perlu bertanya mengenai dana publik yang sudah rutin mengalir bagi kegiatan litbang di perguruan tinggi dan lembaga riset. Dengan demikian, muncul pertanyaan kebijakan publik, mengapa pemerintahan iptek dan inovasi tidak mengoptimalkan dana riset publik, misalnya dengan memproduksi instrumen regulasi agar perguruan tinggi dan lembaga litbang lebih produktif menolong industri agar sanggup menerima transfer teknologi dari aktor asing sebagaimana kita perlukan?

Bagimanapun, dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas alternatif kebijakan selain insentif pajak. Saya akan membahas konsep pengelolaan instrumen kebijakan insentif pajak litbang bagi para analis kebijakan iptek dan inovasi supaya bisa mengoptimalkan instrumen ini.


Mengelola Instrumen

Di masa kini, tren dan peristiwa teknologi berperan vital dalam isu dan kepentingan sektor publik. Pemerintah yang aktif dalam iptek dan inovasi akan memiliki nama baik di mata investor teknologi.

Oleh karena itu, tentu kebijakan insentif pajak litbang tidak akan sia-sia bagi pembangunan Indonesia. Sesungguhnya, promosi investasi litbang akan meningkatkan kredibilitas dan kesinambungan sektor-sektor pembangunan secara keseluruhan. 

Namun, seperti pada jenis instrumen kebijakan inovasi lain, evaluasi dan advokasi perlu dilaksanakan untuk memastikan perangkat ini relevan dengan lebih banyak tipe isu kebijakan. Dengan demikian, ada peluang inovasi dapat lebih intensif terwujud dalam berbagai agenda pembangunan sektoral pemerintahan.

Di atas, penulis telah menunjukkan bahwa wawasan sejarah insentif litbang di AS akan membantu untuk memproyeksikan instrumen ini tidak efektif untuk mendorong inovasi di industri yang tidak punya sejarah aktif dalam riset. Dengan mengetahui detil seperti itu, para analis dan pengambil keputusan bisa menghindari narasi janji berlebihan (misalnya, menghasilkan "Elon Musk" versi Indonesia) tentang dampak instrumen kebijakan insentif ini kelak.

Walaupun dampaknya terbatas, para pengelola insentif perlu memperhitungkan agar semua sektor pemerintahan Indonesia dapat memanfaatkan insentif pajak litbang. Dari bidang pertahanan keamanan ke isu pemanasan global, pengelolaan sumber daya alam, sampai kesiapan Indonesia menghadapi pandemi berikutnya, dan lain sebagainya.

Meskipun target utama instrumen adalah korporasi, namun kebijakan insentif pajak litbang tidak boleh hanya menguntungkan industri. Kebijakan harus menghasilkan transformasi publik secara utuh.

Penting untuk diperhatikan, dalam mencari inspirasi studi evaluasi dari studi kasus luar negeri, para analis perlu memahami bahwa manifestasi pilihan instrumen kebijakan di antara beberapa negara bisa sangat berbeda meskipun tujuannya tampak sama (lihat grafik di bawah) [4]. Oleh karena itu, dalam studi perbandingan, para analis perlu menentukan agenda pemberdayaan publik yang instrumen bisa jalankan, problem teknologis apa yang hendak dipecahkan, dan bagaimana menguji keberhasilannya.



Klik gambar untuk memperbesar.
Contoh perbedaan hasil capaian kebijakan insentif litbang bagi sekor UKM di beberapa negara. Kondisi dan cara pandang berbagai pemerintahan dapat sangat berbeda meskipun pada konteks serupa hingga sulit menyimpul
kan begitu saja siapa yang prestasinya terbaik di sini.



Akhirnya, karena tingkat keberhasilan kebijakan iptek dan inovasi akan diukur dari keterlibatan pemerintah sektoral, maka para operator kebijakan insentif riset perlu mempertimbangkan melengkapinya dengan instrumen halus (soft instruments) untuk menarik dukungan bidang-bidang pemerintahan yang lebih luas. Instrumen tipe ini bersifat sukarela dan tidak memaksa, melainkan menawarkan rekomendasi, permohonan normatif, atau perjanjian sukarela. [4].

Tantangan kebijakan iptek dan inovasi Indonesia tidaklah kecil. Tiap pihak yang ingin berkontribusi mengatasinya perlu bergotong-royong dengan pihak lain untuk meninggalkan jejak memadai.

Catatan:

[1] Lihat Bozeman dan Link (1985). Bozeman, B., & Link, A. (1985). Public support for private R&D: The case of the research tax credit. Journal of Policy Analysis and Management, 4(3), 370–382. https://doi.org/https://doi.org/10.2307/3324191

[2] Lihat Federal Register (2013). Federal Register. (2013, September 6). Research Expenditures: A Proposed Rule by the Internal Revenue Service on 09/06/2013. https://www.federalregister.gov/documents/2013/09/06/2013-21737/research-expenditures

[3] Lihat Ahuja dan Noveli (2017). Ahuja, G., & Novelli, E. (2017). (Commentary) Activity Overinvestment: The Case of R&D. Journal of Management, 43(8), 2456–2468. https://doi.org/https://doi.org/10.1177/014920631769577

[4] Lihat Borrás dan Edquist (2013). Borrás, S., & Edquist, C. (2013). The choice of innovation policy instruments. Technological Forecasting & Social Change, 80(8), 1513–1522. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.techfore.2013.03.002

06 Oktober 2023

Mengukur Kesuksesan Kebijakan Transfer Teknologi


Konsep kunci. Melihat praktik berhasil dari Asia Timur, transfer teknologi adalah bagian dari kebijakan industri. Untuk memperlihatkan pertangungjawabannya, para  analis dan pengambil keputusan perlu memperllihatkan manifestasi implentasi kebijakan transfer teknologi di sektor industri yang akan menampilkan bukti riil dan terukur. Para aparatur yang terllibat  perlu menunjukkan kepastian kebijakan bahwa hasil transfer teknologi mengakibatkan adanya kapabilitas baru industri untuk meningkatkan dan mengadaptasi teknologi yang mereka dapatkan dari aktor lain. Di sini, kontribusi peran badan penelitian dan pengembangan (litbang) menjadi semakin penting untuk selaras dengan kemajuan industri.

Media tanah air sering menggambarkan transfer teknologi sebagai bagian kebijakan membuka peluang pekerja Indonesia belajar dari tenaga kerja negara lain atau impor barang publik yang canggih. Namun, bagaimana sebetulnya transfer teknologi dalam perspektif kebijakan iptek dan inovasi?

Istilah transfer teknologi kerap muncul pada konteks hubungan Indonesia dengan negara lain. Menariknya, jika kita mencermati sejarahnya, negara-negara yang saat ini bertaraf ekonomi maju seperti Jepang dan Korea Selatan (Korsel), mereka pun pernah harus mengandalkan transfer teknologi dari negara-negara lain.


Contoh Asia Timur

Contoh pertama dari Asia Timur adalah Jepang. Tanpa upaya transfer teknologi dari luar negeri, Jepang yang awalnya terbelakang akan sulit untuk mengejar ketertinggalan.

Terdesak oleh kepentingan keamanan negara, pada 1893, Jepang membangun prototipe lokomotif sendiri dengan bantuan instruktur Inggris dan komponen impor. Beberapa industri swasta kemudian pemerintah ajak untuk mempelajari teknologi buatan lokal itu hingga mereka pun masuk ke sektor manufaktur kereta api [1].



Model lokomotif hasil transfer teknologi dari instruktur Inggris yang jadi prototipe pembelajaran hingga membantu lahirnya industri-industri baru manufaktur perkeretaapian Jepang (
Ericson, 1998). Foto: 日本国有鉄道工作局 (1952, Wikimedia, Domain Publik)

Pola kerja menempatkan peran pemerintah secara strategis sebagai pendifusi pengetahuan baru di antara para anggota ekosistem pada satu sektor industri ini sampai sekarang terlihat pada Railway Technical Research Institute (RTRI), badan riset perkeretaapian milik negara [2]. Dengan nahkoda kepemimpinan ekosistem yang RTRI pegang, seluruh anggota rantai industri di sektor perkeretaapian Jepang bisa menurunkan risiko kegagalan riset di bidangnya sehingga bersama-sama mereka bisa menjaga daya kompetisi nasional.

Di masa hampir bersamaan dengan momen munculnya industri pereketaapian, pada 1899, raksasa elektronik dan telekomunikasi terkemuka Jepang, Nippon Electric Corp (NEC) terbentuk sebagai perusahaan patungan pertama di Jepang dalam kemitraan dengan Western Electric Co. milik AT&T yang berasal dari Amerika Serikat [3]. Salah satu pendiri AT&T adalah Alexander Graham Bell, penemu teknologi telepon.

Bukan hanya NEC, OKI Electric berdiri pada 1912 melalui perjanjian transfer teknologi dengan General Electric Corporation (GEC) Inggris [2]. Kemudian, pada 1915, Fujitsu lahir dari aliansi antara Furukawa Electric Company dan Siemens, perusahaan unggulan nasional Jerman. Hitachi, Ltd., yang berdiri pada 1910, merupakan satu-satunya pemasok besar peralatan komunikasi di Jepang yang lahir tanpa bantuan asing [3]. 

Sepanjang 1885-1985, pemerintah membangun aliansi litbang dengan keempat perusahaan swasta tadi. Mereka juga menjadi penyuplai teknologi sebuah BUMN nasional, Nippon Telephone and Telegraph (NTT) [3]. Jadi, biarpun NTT kala itu merupakan perusahaan monopoli yang secara teori sulit beroperasi secara efesien, pemerintah tetap bisa menciptakan efek efisiensi dinamis (
dynamic efficiency) atas NTT lewat strategi investasi litbang ke para penyedia teknologinya.

Seperti di Jepang, pemerintah Korsel juga mulai menjalankan kebijakan transfer teknologi saat negara tersebut belum memiliki teknologi matang yang industri mereka butuhkan untuk beroperasi. Bedanya, ada di orientasi ekspor.

Sedari awal, pemerintah Korsel tancap gas mendorong orientasi ekspor lewat jalan menopang investasi yang menggelembungkan kapasitas sektor produksi sampai melewati daya serap lokal hingga mereka terpaksa harus berorientasi ekspor. Akibatnya, industri Korsel terdorong menggali berbagai cara pendekatan ke para produsen asing untuk memaksimalkan pembelajaran teknologi impor hingga bisa meningkatkan daya kompetisinya [4].

Di fase awal ini, karena memiliki sumber daya manusia (SDM) berpengalaman dominan hanya di komunitas akademia yang cenderung memiliki minat di topik iptek tak seimbang dengan kemampuan lokal, badan litbang Korsel tidak langsung menghubungkan industri setempat ke penyedia teknologi di luar negeri. Sebaliknya, badan litbang menolong industri dalam peran sebagai konsultan dan pelaksana litbang, sehingga daya tawar mereka lebih kuat di mata produsen teknologi asing [4].

Selain dari wahana mendapatkan teknologi, industri Korsel juga aktif mencari tenaga kerja teknisi berpengalaman dari berbagai industri yang sudah eksis. Strategi ini menolong industri Korsel pada 1960 hingga 1970-an melesat cepat di sektor elektronik, kimia, pembuatan kapal, permesinan, dan tekstil [4].

Bisa kita katakan keberhasilan transfer teknoogi Korsel tidak langsung dari instrumen kebijakan iptek, melainkan dari keaktifan pemerintah menciptakan iklim kompetitif yang industri harus hadapi. Ragam kebijakan mendorong ekspor efektif mendorong para pengusaha membuat target-target nyata bersaing dengan industri asing yang lebih maju sehingga akhirnya melesatkan pembangunan perekonomian Korea.

Bukti di Industri

Pengalaman menjalankan kebijakan transfer teknologi sukses oleh dua negara Asia Timur yang kini telah berhasil menjadi makmur dapat memberikan pelajaran signifikan dalam kepentingan meningkatkan efisiensi sektor industri Indonesia untuk menghadapi perasaingan global yang semakin ketat. Indonesia harus berhati-hati agar industrinya tidak terjebak dan berhenti dalam suatu tingkat kemampuan tertentu, karena bahkan negara-negara yang lebih tertinggal pun dapat bersaing melawan kita dengan menggerakkan tenaga kerja berpendapatan rendah mereka.

Dari catatan berbagai insiden di atas, jelas nampak fenomena transfer teknologi Iebih mudah dipahami sebagai bagian upaya menghubungkan iptek sebagai bagian variabel produksi dan desain [5]. Artinya, dalam analisis kebijakan, dampak transfer teknologi harus kasat mata (tangible) hingga mudah divalidasi.

Oleh karena itu, penting bagi para analis dan pengambil keputusan di Indonesia untuk tidak hanya terpaku pada retorika simbolisasi kemajuan semu ketika menjelaskan ke publik manfaat dari berbagai program kebijakan transfer teknologi. Pilihlah kejujuran menjelaskan kenyataan di lapangan.

Lebih jauh, kita perlu menyadari bahwa negara-negara yang maju secara teknologi
 tidak memiliki banyak insentif altruistik untuk membantu Indonesia menerima transfer teknologi. Oleh karena itu, adalah tugas pemerintah Indonesia untuk menjelaskan secara transparan agar masyarakat paham bahwa segala pengerahan sumber daya publik dalam program transfer teknologi adalah bagian upaya memenuhi cita-cita memajukan bangsa sendiri.

Untuk meningkatkan kepercayaan dan partisipasi masyarakat, para analis kebijakan dan pengambil keputusan dapat mempergunakan variabel-variabel dampak di industri. Misalnya, seberapa jauh dampak kebijakan terhadap taraf profitabilitas unit-unit industri maupun bagi suatu sektor ekonomi atau kawasan pemerintahan? Bagaimanakah optimisme para praktisi melihat kedepan? Sejauh mana dukungan akademisi dan litbang pemerintah? [5].

Selain itu, bila para analis dan pengambil keputusan terpaksa berhadapan dengan perintah politis yang tak mungkin dilawan, mereka tak harus berbohong ke publik tentang "kemanjuran" suatu kebijakan transfer teknologi.

Dalam tekanan semacam ini, mereka bisa mengenakan kacamata 
neo-classical economics yang terbukti selalu relevan dengan tiap pergantian kekuasaan suatu bangsa [1]. Sebagai contoh, mereka bisa menjelaskan ke masyarakat bagaimana pemerintah mengambil peran yang terbatas namun berdampak luas bagi kepentingan publik, atau menginformasikan peran kontributif perguruan tinggi dan lembaga riset dalam suatu isu transfer teknologi ke industri.

Dengan menjabarkan keterkaitan pemangku kepentingan pada suatu program transfer teknologi, para analis dan pengambil kebijakan dapat menunjukkan ke publik bahwa pada kenyataannya rencana kerja tersebut bukan untuk sebuah kejayaan semusim. 

Memanipulasi fakta tak bakal membantu siapun, malah hanya melemahkan generasi masa depan.

Catatan:

[1] Lihat Ericson (1998). Ericson, S. J. (1998). Importing Locomotives in Meiji Japan: International Business and Technology Transfer in the Railroad Industry. Osiris, 13, 129–153. http://www.jstor.org/stable/301881

[2] Lihat 
Tezuka, K. (n.d.). 20 Years of Railway Technical Research Institute (RTRI). https://www.ejrcf.or.jp/jrtr/jrtr47/f09_Tez.html 

[3] Lihat Butcher dkk (1992). Butcher, A., McLennan, N., Baker, S., McDonough, S., & Sherman, T. A. (1992.). Global competitiveness of U.S. Advanced-Technology Manufacturing Industries. Google Books. https://www.google.co.id/books/edition/Global_Competitiveness_of_U_S_Advanced_t/_qe1AAAAIAAJ?hl=en&gbpv=0 

[4] Lihat Kim (1992). Kim, L., & Dahlman, C. J. (1992). Technology Policy for Industrialization: An Integrative Framework and Korea’s Experience, 21(5), 437–452. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/0048-7333(92)90004-N 

[5] Lihat Bozeman (2000). Bozeman, B. (n.d.). Technology Transfer and Public Policy: A Review of Research and Theory. Research Policy, 29, 627–655. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1016/S0048-7333(99)00093-1

27 September 2023

Membaca Perbedaan Strategi Indonesia-Vietnam

Indonesia dan Vietnam merupakan dua negara di Asia Tenggara yang memiliki potensi besar di bidang riset iptek dan inovasi. Namun, keduanya tampaknya memiliki strategi berbeda dalam pengembangan riset ilmiah.

Berdasarkan data dari SciVal, kita segera tahu Indonesia unggul dari Vietnam dalam jumlah penulis publikasi ilmiah internasional. Namun, analisis lebih mendalam mengungkapkan perbedaan yang signifikan antara kedua negara ini dalam hal riset ilmiah.

Bila kita ringkaskan di awal, hasilnya Indonesia kalah dari Vietnam dalam jumlah kutipan per publikasi, persentase publikasi di jurnal top 10%, dan pemilihan mitra kolaborasi internasional.

Pertama-tama, data menunjukkan Indonesia memiliki 285.418 orang penulis publikasi ilmiah, sedangkan Vietnam hanya memiliki 83.579 penulis. Keunggulan ini wajar karena sesuai rasio populasi Indonesia dan Vietnam yang nilainya sekitar tiga banding satu.

Namun, Indonesia hanya memiliki 5,4 kutipan per publikasi, sedangkan Vietnam mencapai 14,6 kutipan per publikasi. Vietnam juga memiliki persentase publikasi yang masuk ke dalam jurnal-jurnal top 10% yang lebih tinggi, yaitu sekitar 21,3%, sementara Indonesia hanya memperoleh 5,8%.

Perbedaan lainnya terletak pada kolaborasi internasional. Di Indonesia, 78,9% kerjasama riset terjadi dengan  mitra lokal,  sedangkan di Vietnam, kolaborasi penelitian lebih sering terjadi dengan rekan-rekan internasional, mencapai 62,2%.


Klik gambar untuk memperbesar.


Data SciVal juga mengindikasikan bahwa pemerintah Indonesia, dalam kebijakan iptek dan inovasinya, lebih mengarah pada penelitian yang beragam. Sementara Vietnam sedikit lebih selektif dalam membina sumber daya manusia di bidang STEM (science, technology, engineering, and mathematics) yang memiliki aplikasi industri yang lebih kuat.

Kita bisa mengintepretasikan informasi tadi bahwa pemerintahan kebijakan iptek dan inovasi Indonesia telah memilih melebarkan spektrum bidang ilmu, sedangkan Vietnam lebih selektif membina sumber daya manusia ke bidang STEM yang punya orientasi lebih dekat ke aplikasi industri.



Klik gambar untuk memperbesar.


Namun, penting untuk dicatat bahwa data dari SciVal menunjukkan bahwa porsi kolaborasi antara dunia akademik dan industri di kedua negara masih sangat rendah (Indonesia 0,7%, Vietnam 1,6%). Meskipun demikian, kita harus mengingat bahwa jenis riset hulu yang SciVal catat lebih berfokus pada aspek akademik hingga bahkan di negara kuat seperti Amerika Serikat, total insiden kolaborasi dengan industri hanya sekitar 4,8%.

Informasi dari Bank Dunia akan lebih jelas menggambarkan bagaimana industri di Indonesia dan Vietnam menyerap ilmu pengetahuan baru. Data Bank Dunia ini mencerminkan bahwa Indonesia menghadapi hambatan lebih besar dalam mengalirkan pengetahuan baru ke industri sehingga gagal meningkatkan porsi ekspor teknologi tinggi.

Data Bank Dunia menunjukkan bahwa porsi ekspor teknologi tinggi Indonesia stagnan di bawah 10% dari total ekspor komoditas manufaktur selama 2010-2021. Sebaliknya, Vietnam, dengan pertumbuhan tahunan rata-rata 3,15%, berhasil mencatatkan perkembangan positif, sedangkan Indonesia justru mengalami penurunan sebesar -4,38%.


Klik grafik untuk memperbesar.


Bila angka porsi tadi kita transformasikan menjadi nilai komoditas, maka kekalahan Indonesia semakin jelas terlihat. Sepanjang periode 2010 hingga 2021, nilai Dollar ekspor teknologi tinggi dari Indonesia rata-rata pertahun hanya meningkat 0,87%, sementara pertumbuhan Vietnam mencapai 23,09% (!).


Klik grafik untuk memperbesar.

 
Pada pandangan awal, dengan jumlah sumber daya manusia (SDM) yang lebih besar, Indonesia mungkin terlihat lebih sanggup menghadapi persaingan di ranah teknologi dengan negara-negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, dan China. Kenyataannya, Vietnam ada di atas angin dalam memperbaiki kapabilitas bersaing dalam kualitas riset dan industri teknologi tinggi karena menekankan kolaborasi internasional.

Tak terlihat di data SciVal dan Bank Dunia tadi, berbagai sumber menunjukkan pemerintah Vietnam rajin menarik investasi industri dan litbang swasta asing. Baru-baru ini, Vietnam berhasil menghela komitmen investasi korporasi teknologis dari berbagai negara seperti dari Samsung, Apple dan mitra-mitranya (Foxconn, Luxshare, dan GoerTek), Pegatron, BYD, OPPO, Quanta, Amkor, Brose, Xiaomi, Panasonic, dan Compal (Ryder, 2023). 

Kita bisa membaca upaya kebijakan menambah arus masuk investasi di bidang teknologi ini turut menyumbang terciptanya iklim positif mendorong akademia Vietnam berkolaborasi dengan mitra asing. 

Dalam konsepsi kebijakan iptek dan inovasi, kondisi ini adalah bagian upaya pemerintah Vietnam untuk menciptakan jaringan dengan para pemilik teknologi termutakhir sekaligus membuka pasar yang cukup canggih untuk menyerap hasil-hasil riset mereka. Selain itu, pemerintah juga memastikan pasokan keterampilan, layanan, dan input yang mereka butuhkan termasuk dalam kepentingan sistem inovasi di dalam negeri [1].

Indonesia perlu belajar dari Vietnam untuk mempercepat kemajuan teknologinya. Salah satu keunggulan Vietnam adalah tingginya relevansi internasional dalam riset dan industri teknologi tinggi. Untuk mengejar ketertinggalan, Indonesia perlu menurunkan hambatan investasi industri asing di sektor teknologi tinggi dan meningkatkan profil internasional sektor keilmiahannya.  



Catatan:
[1] Lihat Fagerberg & Godinho (2004) (Fagerberg, J., & Godinho, M. M. (2004). Innovation and Catching-up. Dalam The Oxford Handbook of Innovation (pp. 514–542). essay, Oxford University Press.)



22 September 2023

(Data SciVal) Indonesia Perlu Tingkatkan Penerimaan Dana Riset Asing

Media kerap mencatat tantangan besar yang masih menghantui Indonesia adalah rendahnya anggaran riset nasional. Solusi yang mungkin layak pemerintahan iptek dan inovasi pertimbangkan di tanah air adalah menarik dana penelitian dari sumber-sumber asing.

Data dari SciVal, sebuah perangkat daring yang menggunakan data Scopus melacak kinerja penelitian ribuan lembaga riset di seluruh dunia, mengungkapkan bahwa lembaga pelaku litbang di Indonesia bersama dengan negara-negara ASEAN lainnya sesungguhnya sudah seringkali mengandalkan dana hibah riset dari luar negeri atau kawasan regional Asia Tenggara.

Menurut SciVal, selama periode 2013 hingga 2022, Singapura berada di puncak daftar ASEAN dengan penerimaan dana internasional sekitar Rp 6,3 triliun [1]. Sementara itu, total penerimaan yang diterima oleh lembaga-lembaga riset di Indonesia di rentang waktu sama masih hanya sekitar Rp 2,5 triliun.


Klik grafik untuk memperbesar.



Klik grafik untuk memperbesar.


Dana riset asing ini  mengalir ke berbagai lembaga di Indonesia, dengan dominasi peruntukan adalah bagi penelitian di bidang ilmu sosial. Sayangnya, intensitas keberhasilan cabang ilmu fisika dan astronomi menarik dana hibah riset asing masih rendah.



Klik grafik untuk memperbesar.



Klik grafik untuk memperbesar.

Fenomena di Indonesia ini cukup berbeda dengan Singapura, di mana rekayasa teknologi menjadi fokus utama. Keberhasilan bidang rekayasa teknologi di Singapura akan menggambarkan lebih banyaknya upaya kelompok rekayasa teknologi di National University of Singapore (NUS) yang merupakan pengumpul unit hibah terbanyak di perguruan tinggi tersebut (tidak digambarkan di sini).



Klik grafik untuk memperbesar.


Keberhasilan Singapura dalam menarik dana riset internasional bisa menjadi inspirasi bagi Indonesia. Dengan jumlah penduduk yang jauh lebih besar, Indonesia memiliki potensi talenta manusia juga jauh lebih signifikan untuk menjadi penarik dana riset global terbesar di ASEAN atau bahkan di Asia.

Pemerintahan iptek dan inovasi Indonesia perlu membuka pintu diplomasi lebih besar dalam berbagai kesempatan bilataeral dan multilateral dengan para donor agar dana riset asing bisa mengalir lebih banyak ke Indonesia.

Masih dari SciVal, contoh lembaga asing yang sudah memberikan dana riset ke institusi di ASEAN atau Indonesia khususnya antara lain Australian Research Council, National Science Foundation (NSF) Amerika Serikat, National Natural Science Foundation of China, Wellcome Trust Inggris, dan lain sebagainya. Perlu disebut, Uni Eropa juga memiliki program pendanaan yang telah berkontribusi bagi riset ASEAN dan Indonesia.

Di lain pihak, berbagai lembaga di Indonesia yang termasuk penerima terbanyak dana riset asing adalah Universitas Indonesia (17 penghargaan hibah), ITB (11), Lembaga Eijkman (8), UGM (8), Universitas Katolik Atma Jaya (4), CIFOR (4), IPB (3), ITS (3), Universitas Bina Nusantara (1), dan Universitas Brawijaya (1), serta beberapa perguruan tinggi lain yang juga pernah setidaknya sekali menerima dana asing di periode 2013 hingga 2022.

19 September 2023

Amerika, China, Rusia, Mana untuk Indonesia?

Kita saat ini berada dalam era yang menantang namun penuh dengan potensi. Pada masa lalu, mungkin kita beranggapan bahwa dalam era globalisasi, nilai pentingnya kelokalan dalam mencapai keunggulan kompetitif telah berkurang. Globalisasi sendiri merupakan hasil dari kemajuan teknologi yang luar biasa. Perkembangan pesat dalam sistem komunikasi dan transportasi telah membuka pintu lebar pasar bagi seluruh masyarakat untuk menikmati berbagai barang dan layanan dari seluruh dunia. Meskipun di Indonesia kita mungkin tidak memproduksi semua teknologi itu sendiri, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat diakses melalui pasar internasional jelas memberikan kepuasan tersendiri sebagai konsumen.

Namun, situasinya sekarang berubah dengan cepat. Meskipun globalisasi terus berlanjut berkat perkembangan teknologi yang masih berjalan, kita juga dihadapkan pada tantangan baru. Konflik geopolitik seperti yang terjadi antara Rusia dan Ukraina telah memengaruhi perekonomian global dan meningkatkan ketegangan persaingan strategis antara Amerika Serikat dan China. Dampaknya, fragmentasi politik global semakin nyata, bahkan peperangan di Pasifik bisa meletus, dan itu semua mengubah dinamika perekonomian di seluruh dunia saat ini.

Kenyataannya, bahkan sebelum guncangan global yang baru-baru ini terjadi, perkembangan ekonomi sebetulnya selalu terkait erat dengan batasan-batasan tertentu. Contoh yang nyata terlihat di kawasan ASEAN, di mana Singapura menonjol sebagai satu-satunya negara dengan pendapatan tinggi. Meskipun Singapura secara geografis berdekatan dengan Indonesia, hubungan kuat antara perguruan tinggi, industri, dan pemerintah di sana tidak lantas memberikan manfaat bagi kemajuan inovasi di Indonesia. Bagi Indonesia atau negara berkembang manapun, globalisasi tidak pernah menjamin lahirnya kemandiran teknologi. Dampak kebijakan inovasi selalu cenderung terbatas pada tingkat keahlian pengembang kebijakan tampilkan di masing-masing wilayah.
 
Penting untuk diingat bahwa dalam menghadapi kompleksitas masalah yang dihadapi oleh masyarakat, terutama dalam konteks iptek dan inovasi, kolaborasi adalah kunci. Sejarah menunjukkan bahwa kolaborasi, baik di tataran antara negara maupun lembaga di dalam negeri, merupakan landasan kemajuan teknologi dalam era modern. China, sebagai contoh, telah menerapkan strategi cerdik melibatkan kolaborasi dengan mitra dagang asing untuk mengakses pengetahuan iptek yang sangat penting sebelum akhirnya menjadi salah satu pemimpin global teknologi. Dalam hal ini, China hanya mengikuti jejak menciptakan kemajuan yang Jepang, Korsel, dan Singapura sudah lakukan.

Dari perspektif para analis kebijakan iptek dan inovasi, kami memiliki kemampuan untuk memahami dan mengatasi kompleksitas masalah yang terkait dengan pengembangan iptek dan inovasi. Namun, satu hal yang harus diingat adalah bahwa prasyarat utama dalam membentuk kebijakan iptek dan inovasi yang kuat adalah memiliki pemahaman global yang memadai. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa dalam dunia yang semakin terhubung ini, tidak ada satu negara pun yang mampu memonopoli seluruh perkembangan pengetahuan secara eksklusif. Tidak peduli seberapa besar negara tersebut, baik itu Amerika Serikat atau China, atau negara mana pun di dunia (lihat grafik "10 Besar Negara Produsen Publikasi Ilmiah Internasional dan Indonesia (2020 - 2022, Data Scopus)" di bawah.
 



Klik grafik untuk memperbesar.

Jadi jelaslah, saat ini kita berada dalam era yang menuntut pemerintahan iptek Indonesia untuk menunjukkan punya kemampuan lebih membaca dinamika dan kepentingan bangsa lain. Kenyataan tantangan geopolitik global saat ini harus bisa pemerintah ubah menjadi berbagai kesempatan yang membuka jalan untuk mengembangkan iptek. Keberhasilan dalam hal ini akan memengaruhi kesuksesan misalnya dalam kepentingan menarik perhatian para ahli asing yang memiliki pengetahuan yang sangat berharga bagi sektor industri Indonesia, menciptakan keterkaitan lebih erat antara riset dan industri, memperluas kolaborasi dalam dunia pendidikan tinggi, dan menarik investasi asing dalam penelitian dan pengembangan. Poin terakhir ini dapat memperkuat profil serta pendapatan para ilmuwan dan pengembang teknologi di Indonesia tanpa harus beremigrasi ke luar negeri, yang menciptakan dampak  talenta mengering (brain drain) di tanah air. Dengan begitu, kita dapat bersama-sama memanfaatkan potensi iptek dan inovasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bangsa Indonesia.


Di beberapa posting kedepan, saya akan mencoba berkontribusi pada kepentingan tersebut.


(In memory of my sister, Kakak Dian Manginta, who had her birthday today)


Mimpi Caleg

Mimpi para caleg tercermin jelas di jalanan, di mana poster-poster mereka berderet bergantungan. Banyak wajah baru politisi menyibak, entah ...