Tampilkan postingan dengan label Sistem Inovasi Nasional. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sistem Inovasi Nasional. Tampilkan semua postingan

10 November 2023

Perguruan Tinggi dan Lembaga Riset, Apa Bedanya?



Konsep kunci. Tulisan ini mendeskripsikan mengenai perbedaan fungsi antara perguruan tinggi dan lembaga riset sehingga pendanaan atas mereka dalam waktu sama tidaklah bersifat duplikatif. Karena sejarahnya, perguruan tinggi mempunyai karakter lebih memetingkan kebebasan. Sebaliknya, peran lembaga riset lebih terikat pada arahan pemerintah atau misi formal yang lebih spesifik. Meskipun di dunia tidak ada standar tunggal untuk menilai keberhasilan lembaga riset di berbagai negara, namun para analis bisa mempelajari bagaimana peran institusi tersebut dalam menolong negara mengejar ketertinggalan. 


Masyarakat umum, bahkan tokoh-tokoh elit dalam opini publiknya, seringkali memperlakukan perguruan tinggi dan lembaga riset sebagai entitas yang punya peran identik, yaitu menghasilkan pengetahuan baru [1]. Namun, bila kita mengamati secara seksama, sulit untuk membedakan dengan tegas perbedaan fungsi di antara keduanya.

Bagi para analis kebijakan, pertanyaan menarik dalam hal ini adalah mengapa pemerintah-pemerintah di berbagai negara dunia mendirikan badan riset sekalipun mereka biasanya sudah memiliki banyak perguruan tinggi yang rutin melaksanakan penelitian? Mengapa pemerintah harus membiayai satu aktivitas sama di dua jenis lembaga berbeda?

Bagi analis kebijakan, penting untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut karena dapat membantu mereka memberikan saran kebijakan yang lebih efesien dan mengoptimalkan anggaran yang terbatas.

Perlu pembaca perhatikan, tulisan ini tidak bertujuan normatif, bukan untuk menjelaskan apa yang “seharusnya terjadi” di Indonesia. Lebih tepatnya, tulisan ini bertujuan memperkaya wawasan para analis, agar mereka bisa memberikan saran kebijakan yang menghargai rasa percaya dan hormat publik terhadap ilmu pengetahuan, teknologi (iptek), dan inovasi.

Evolusi Peran Perguruan Tinggi



Budaya perguruan tinggi telah berkembang dan menyebar selama hampir seribu tahun. Budaya simbolik seperti dalam jubah berwarna gelap pada acara wisuda adalah serupa di perguran tinggi di berbagai negara di dunia. Materi dan substansi yang sebangun menyebabkan kita dapat menggunakan institusi perguruan tinggi di negara maju sebagai model bagi pemikiran kebijakan di Indonesia (foto: ilustrasi AI)


Pada tahap awal, titik mula pendirian perguruan tinggi tercatat dalam sejarah ketika di kota Bologna mulai tumbuh kebiasaan berorganisasi di kalangan masyarakat di abad ke-12. Pedagang dan pengrajin membentuk persatuan-perserikatan, sementara para pelajar membentuk universitas yang secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai "komunitas pembelajar" [3].

Para penguasa setempat pada masa itu melihat universitas sebagai elemen penting dalam menyusun tatanan hukum dan sistem perundangan, juga sebagai alat untuk menarik kekayaan dan meningkatkan prestise kota. Mereka lalu memberikan dosen dan mahasiswa perlindungan serta perlakuan istimewa dalam ranah hukum, dan Universitas Bologna pun selama beberapa ratus tahun menjadi panutan bagi lembaga-lembaga serupa di wilayah lain [3].

Para penguasa keagamaan atau wilayah kemudian mendirikan lembaga serupa, sebagian untuk mempelajari berbagai keterampilan tinggi (liberal arts), lainnya hanya hukum dan kedokteran. Pada umumnya, universitas-universitas tersebut mengakui tunduk pada kewenangan otoritas wilayah dan keagamaan setempat [3].

Walaupun berbeda dengan pola yang berlaku pada zaman kita, seiring berjalannya waktu, berbagai unsur yang membentuk karakter universitas modern mulai terbentuk. Perubahan tersebut mencakup regulasi dalam merekrut pengajar, sistem kompensasi dosen, distribusi buku pelajaran, prosedur penerimaan mahasiswa dan pengajar dari luar negeri, simbol identitas (pakaian, bendera, dan pernik lainnya), proses evaluasi, pengeluaran ijazah, penamaan gelar akademik, operasional asrama, manajemen bangunan, struktur administratif universitas, otonomi perguruan tinggi, penentuan kurikulum, metode belajar skolastik (memanfaatkan logika untuk untuk menafsirkan dan menyatukan berbagai teks), penyerapan pengetahuan dari praktisi di luar dunia akademik, serta harapan-harapan seputar peran dan kualitas lulusan dalam masyarakat [3].

Ketika itu, studi hukum dianggap sebagai disiplin ilmu yang sangat menjanjikan. Bidang ini mempersiapkan mahasiswa untuk berkarir di pemerintahan, baik dalam ranah keagamaan (ecclesiastical) maupun sipil [3].

Hal mendasar yang membedakan perguruan tinggi pada masa awal dengan masa kini adalah, pada umumnya, mereka tidak mengajarkan materi-materi praktikal seperti arsitektur, peternakan, dan pembedahan (meskipun kedokteran sudah termasuk dalam program). Namun, perkembangan pola dan topik pengajaran di perguruan tinggi merupakan pencerminan perubahan dalam tatanan sosial masyarakat [3].

Di abad ke-14, kelompok intelektual humanis yang berkumpul di luar universitas menciptakan Era Pencerahan (Renaissance). Di abad berikutnya, kalangan akademik sudah mengadopsi gaya humanis yang lebih lentur, persuasif, dan kaya dalam berekspresi sehingga mudah menyerap ke berbagai komunitas [3].

Perlengkapan intelektual yang humanisme berikan ternyata juga menyebabkan para akademisi menjadi lebih kritis terhadap bahan-bahan pembelajaran tradisional. Kebiasaan baru ini akhirnya mempengaruhi reformasi dalam struktur bidang studi, yang pada akhirnya menghasilkan bentrokan dengan otoritas, seperti yang tampak pada kasus Galileo Galilei yang memperkenalkan teori heliosentrik [3].



Saat ini, semua kalangan bebas belajar ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) untuk kepentingan hidupnya sendiri. Kebebasan tersebut merupakan pengaruh dari perkembangan budaya perguruan tinggi yang menyebar ke masyarakat luas (foto: ilustrasi AI)


Ide-ide segar yang cendekiawan universitas bawakan sejatinya mengguncang fondasi pranata masyarakat karena menjelaskan bahwa hukum alam memiliki keabadian yang lebih kuat dari peraturan sosial di masyarakat. Cara pandang baru itu ikut mendorong lahirnya Deklarasi Kemerdekaan Amerika pada tahun 1776 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara Perancis tahun 1779 yang merupakan seruan untuk mengakhiri status istimewa kelompok-kelompok yang saat itu berkuasa [3].

Kalangan universitas yang sebelumnya submisif di bawah otoritas, akhirnya menyuarakan perubahan kekuasaan. Mereka pun berekspansi, membentuk organisasi semacam Royal Society di Inggris Raya dan Akademi Sains Prancis - institusi serupa kemudian berdiri di negara-negara lain, yang mempromosikan dan memanfaatkan talenta ilmiah dan seni [3].

Tidak hanya di situ, di abad ke-19, semakin banyak perguruan tinggi yang berdiri langsung dengan tujuan praktikal atau vokasi sehingga makin jauh meninggalkan kebiasaan berorientasi pada kekuasaan. Contoh perguruan tinggi tersebut adalah Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan California Institute of Technology (Caltech) [4]. 

Saat ini, semakin banyak negara maju dan berkembang menempatkan perguruan tinggi sebagai instrumen pembangunan dan perubahan ekonomi berbasis pengetahuan. Sejak tahun 1970-an, pemerintah berbagai negara telah berupaya meningkatkan laju transfer kemajuan penelitian akademis ke industri [5].

Berbagai variasi peran perguruan tinggi dalam sistem inovasi nasional antara lain [5]:
  • Menyebarkan informasi iptek hingga mengefesienkan litbang industri;
  • Menyediakan keahlian (dalam figur dosen) dan tenaga kerja;
  • Memasok prototipe untuk produk dan proses baru;
  • Menjadi konsultan dan mitra litbang bagi industri, termasuk bagi perusahaan yang bergerak di sektor berbasis ilmu pengetahuan;
  • Mengembangkan kawasan komersialisasi teknologi (menghasilkan industri unggulan daerah);
  • Memperkuat karakter sektor unggulan daerah.
Perguruan tinggi juga dapat bertindak menyebarluaskan informasi teknologi industri bagi publik dalam bentuk paten teknologi yang menjadi referensi litbang bagi masyarakat luas [6]. Tentu saja ini bisa terjadi manakala industri setempat sudah memiliki kebiasaan atau kemampuan menghitung profitabilitas investasi litbang.

Selain itu, mengambil inspirasi dari kebijakan negara maju (tepatnya Bayh—Dole Act), analis kebijakan bisa mengevaluasi sejauh mana tingkat perhatian perguruan tinggi lokal terhadap manajemen aset hak kekayaan intelektualnya. Namun, tanpa adanya kesadaran di industri, sulit untuk memproyeksikan perguruan tinggi dengaan karakter kebebasannya yang tinggi dapat aktif melakukan transfer teknologi ke industri.

Dengan kata lain, bila suatu negara berkembang ingin meniru keberhasillan MIT atau Caltech, misalnya, mereka perlu mengingat bahwa institusi-institusi tersebut berdiri di wilayah yang sudah memiliki industri lebih matang dan beragam sehingga punya permintaan lebih tinggi terhadap modal iptek.

Lembaga Riset

Tidak seperti perguruan tinggi, lembaga riset (public research institute) tidak punya citra seragam. Ada negara yang sangat mengandalkan mereka, ada yang tidak [7]. 

Tidak seperti perguruan tinggi yang memancarkan citra kosmopolitan dan egaliter, lembaga riset memiliki peran yang bersifat khusus, berdasarkan arahan pemerintah. Ada yang mendapat tugas di bidang ilmu dasar, lainnya ada yang fokus ke tataran terapan mengikuti permintaan pasar, sehingga aktivitas riset di lembaga riset lebih terfokus daripada di perguruan tinggi [7][8].

Di negara maju, beberapa tren perilaku dan masalah lembaga riset adalah sebagai berikut [8]:
  • Keterbukaan dan responsif: Lembaga riset diharapkan meningkatkan keterbukaan dan respons terhadap kebutuhan pasar;
  • Bersaing dalam pendanaan: Lembaga riset semakin mengandalkan pada berbagai pendanaan riset yang kompetitif;
  • Tantangan sumber daya manusia: Mengalami tantangan lebih besar dalam mempertahankan dan mengoptimalkan sumber daya manusia (SDM);
  • Jaringan pribadi: Jaringan pribadi SDM ke komunitas industri dan internasional merupakan modal bagi lembaga;
  • Relevansi lembaga: Pengarahan dan tata kelola yang efektif sangat penting untuk memastikan relevansi lembaga;
  • Motivasi pemerintah: Pemerintah perlu mendorong lembaga lebih sukses dalam evaluasinya melalui peningkatan otonomi, kolaborasi, dan daya tanggap terhadap pemangku kepentingan [8].
Bila mendapat tugas mengevaluasi lembaga riset, para analis kebijakan perlu memperhatikan bahwa bahwa mereka tidak bisa menetapkan ukuran keberhasilan secara seragam. Setiap lembaga riset memiliki karakteristik dan tujuan yang berbeda.

Sebagai contoh, beberapa lembaga riset mungkin tidak bisa menghasilkan banyak paten, namun lebih berfokus pada publikasi ilmiah karena mereka berfungsi melayani kepentingan masyarakat luas dalam bidang tertentu. Sementara itu, mungkin ada lembaga lain yang memerlukan evaluasi kualitatif karena sejarah perkembangan mereka telah mengikuti perubahan dalam kompleksitas ekonomi negara [8].

Para analis juga bisa memetik pelajaran tentang bagaimana intervensi pemerintah mengatasi hambatan inovasi di sektor industri dengan memeriksa operasi lembaga riset di negara maju. Peran lembaga riset sangat relevan dalam mengejar ketertinggalan, dan hal ini dapat mencakup antara lain [8]:
  • Menolong industri lokal memahami teknologi canggih dari luar negeri sehingga meningkatkan kelajuan pembangunan ekonomi;
  • Menyiapkan berbagai pengetahuan atas teknologi baru yang masih berkembang di dunia sebagai bagian strategi mempercepat adaptasi oleh industri lokal;
  • Menciptakan platform jaringan antar industri hingga bisa menciptakan rantai industri lebih utuh atas suatu jenis teknologi yang mash berkembang;
  • Membantu industri menterjemahkan berbagai invensi baru kedalam tataran komersial hingga meningkatkan daya kompetisi ekspor mereka;
  • Menghimpun dukungan pemerintah (termasuk dalam format yang tersedia dalam berbagai program pemerintah) dan perguruan tinggi agar bisa menjawab tuntutan spesifik industri;
  • Memantau perkembangan teknologi di negara-negara termaju di dunia.
Dengan mempelajari dan menerapkan praktik terbaik yang ada di seluruh dunia, pemerintah dapat mengharapkan bahwa lembaga riset akan mampu mencapai prestasi yang spesifik, termasuk membuka jalan bagi perguruan tinggi untuk terlibat lebih dalam dunia nyata. Namun, untuk mencapai tujuan ini, lembaga riset perlu mendapatkan pembinaan berkualitas dari pemerintah dalam bentuk peraturan, pendanaan, serta penetapan target jangka pendek dan panjang yang jelas [8].

Semoga sekarang pembaca sudah dapat menangkap perbedaan antara perguruan tinggi dan lembaga riset, sehingga memahami mengapa pemerintahan di dunia mendirikan keduanya meskipun dalam aktivitas serupa.


Catatan:

[1] Lihat misalnya Kesowo (2021) dan Wiratman (2022)

Kesowo, B. (2021, Juni 04). BRIN, Sebuah Sisi Pandang. Kompas. https://www.kompas.id/baca/opini/2021/06/04/brin-sebuah-sisi-pandang/

Wiratraman, H. P. (2022, Januari 19). Independensi Lembaga Riset . Kompas. https://www.kompas.id/baca/opini/2022/01/18/independensi-lembaga-riset

[2] Cukup banyak diskusi ilmiah yang bisa menjabarkan alasan mengapa moralitas pemerintahan akan cenderung tidak bisa menerima adanya duplikasi penugasan lembaga yang aktivitasnya serupa. Lihat misalnya  dalam Landau (1969). Landau, M. (1969). Redundancy, Rationality, and the Problem of Duplication and Overlap. Public Administration Review, 29(4). https://doi.org/https://doi.org/10.2307/973247

[3] Ada cukup banyak referensi mengenai sejarah perguruan tinggi (universitas), misalnya Moore (2018). Moore, J. C. (2018). A Brief History of Universities. Palgrave Pivot Cham. https://doi.org/10.1007/978-3-030-01319-6

[4] Lihat sumber-sumber di situs MIT dan Caltech:

Caltech Gets Its Start in Old Town Pasadena. Caltech. (n.d.). https://www.caltech.edu/map/landmark_ajax/563/history/details

MIT Facts: MIT History. MIT Facts | MIT History. (n.d.). https://libraries.mit.edu/mithistory/mit-facts/

[5] Lihat Mowery dan Sampat (2006). Mowery, David C., and Bhaven N. Sampat, ' Universities in National Innovation Systems', in Jan Fagerberg, and David C. Mowery (eds), The Oxford Handbook of Innovation (2006), https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199286805.003.0008.

[6] Lihat Suzuki dkk (2015). Suzuki, J., Tsukada, N., & Goto, A. (2015). Role of Public Research Institutes in Japan’s National Innovation System: Case Study of AIST, RIKEN and JAXA. Science, Technology and Society, 20(2). https://doi.org/https://doi.org/10.1177/09717218155797

[7] Lihat Edquist (2006). Edquist, Charles, ' Systems of Innovation: Perspectives and Challenges', in Jan Fagerberg, and David C. Mowery (eds), The Oxford Handbook of Innovation (2006), https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199286805.003.0007.

[8] Lihat Intarakumnerd dan Goto (2018). Intarakumnerd, P., & Goto, A. (2018). Role of public research institutes in national innovation systems in industrialized countries: The cases of Fraunhofer, NIST, CSIRO, AIST, and ITRI. Research Policy, 47(7), 1309–1320. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.respol.2018.04.011

06 Oktober 2023

Mengukur Kesuksesan Kebijakan Transfer Teknologi


Konsep kunci. Melihat praktik berhasil dari Asia Timur, transfer teknologi adalah bagian dari kebijakan industri. Untuk memperlihatkan pertangungjawabannya, para  analis dan pengambil keputusan perlu memperllihatkan manifestasi implentasi kebijakan transfer teknologi di sektor industri yang akan menampilkan bukti riil dan terukur. Para aparatur yang terllibat  perlu menunjukkan kepastian kebijakan bahwa hasil transfer teknologi mengakibatkan adanya kapabilitas baru industri untuk meningkatkan dan mengadaptasi teknologi yang mereka dapatkan dari aktor lain. Di sini, kontribusi peran badan penelitian dan pengembangan (litbang) menjadi semakin penting untuk selaras dengan kemajuan industri.

Media tanah air sering menggambarkan transfer teknologi sebagai bagian kebijakan membuka peluang pekerja Indonesia belajar dari tenaga kerja negara lain atau impor barang publik yang canggih. Namun, bagaimana sebetulnya transfer teknologi dalam perspektif kebijakan iptek dan inovasi?

Istilah transfer teknologi kerap muncul pada konteks hubungan Indonesia dengan negara lain. Menariknya, jika kita mencermati sejarahnya, negara-negara yang saat ini bertaraf ekonomi maju seperti Jepang dan Korea Selatan (Korsel), mereka pun pernah harus mengandalkan transfer teknologi dari negara-negara lain.


Contoh Asia Timur

Contoh pertama dari Asia Timur adalah Jepang. Tanpa upaya transfer teknologi dari luar negeri, Jepang yang awalnya terbelakang akan sulit untuk mengejar ketertinggalan.

Terdesak oleh kepentingan keamanan negara, pada 1893, Jepang membangun prototipe lokomotif sendiri dengan bantuan instruktur Inggris dan komponen impor. Beberapa industri swasta kemudian pemerintah ajak untuk mempelajari teknologi buatan lokal itu hingga mereka pun masuk ke sektor manufaktur kereta api [1].



Model lokomotif hasil transfer teknologi dari instruktur Inggris yang jadi prototipe pembelajaran hingga membantu lahirnya industri-industri baru manufaktur perkeretaapian Jepang (
Ericson, 1998). Foto: 日本国有鉄道工作局 (1952, Wikimedia, Domain Publik)

Pola kerja menempatkan peran pemerintah secara strategis sebagai pendifusi pengetahuan baru di antara para anggota ekosistem pada satu sektor industri ini sampai sekarang terlihat pada Railway Technical Research Institute (RTRI), badan riset perkeretaapian milik negara [2]. Dengan nahkoda kepemimpinan ekosistem yang RTRI pegang, seluruh anggota rantai industri di sektor perkeretaapian Jepang bisa menurunkan risiko kegagalan riset di bidangnya sehingga bersama-sama mereka bisa menjaga daya kompetisi nasional.

Di masa hampir bersamaan dengan momen munculnya industri pereketaapian, pada 1899, raksasa elektronik dan telekomunikasi terkemuka Jepang, Nippon Electric Corp (NEC) terbentuk sebagai perusahaan patungan pertama di Jepang dalam kemitraan dengan Western Electric Co. milik AT&T yang berasal dari Amerika Serikat [3]. Salah satu pendiri AT&T adalah Alexander Graham Bell, penemu teknologi telepon.

Bukan hanya NEC, OKI Electric berdiri pada 1912 melalui perjanjian transfer teknologi dengan General Electric Corporation (GEC) Inggris [2]. Kemudian, pada 1915, Fujitsu lahir dari aliansi antara Furukawa Electric Company dan Siemens, perusahaan unggulan nasional Jerman. Hitachi, Ltd., yang berdiri pada 1910, merupakan satu-satunya pemasok besar peralatan komunikasi di Jepang yang lahir tanpa bantuan asing [3]. 

Sepanjang 1885-1985, pemerintah membangun aliansi litbang dengan keempat perusahaan swasta tadi. Mereka juga menjadi penyuplai teknologi sebuah BUMN nasional, Nippon Telephone and Telegraph (NTT) [3]. Jadi, biarpun NTT kala itu merupakan perusahaan monopoli yang secara teori sulit beroperasi secara efesien, pemerintah tetap bisa menciptakan efek efisiensi dinamis (
dynamic efficiency) atas NTT lewat strategi investasi litbang ke para penyedia teknologinya.

Seperti di Jepang, pemerintah Korsel juga mulai menjalankan kebijakan transfer teknologi saat negara tersebut belum memiliki teknologi matang yang industri mereka butuhkan untuk beroperasi. Bedanya, ada di orientasi ekspor.

Sedari awal, pemerintah Korsel tancap gas mendorong orientasi ekspor lewat jalan menopang investasi yang menggelembungkan kapasitas sektor produksi sampai melewati daya serap lokal hingga mereka terpaksa harus berorientasi ekspor. Akibatnya, industri Korsel terdorong menggali berbagai cara pendekatan ke para produsen asing untuk memaksimalkan pembelajaran teknologi impor hingga bisa meningkatkan daya kompetisinya [4].

Di fase awal ini, karena memiliki sumber daya manusia (SDM) berpengalaman dominan hanya di komunitas akademia yang cenderung memiliki minat di topik iptek tak seimbang dengan kemampuan lokal, badan litbang Korsel tidak langsung menghubungkan industri setempat ke penyedia teknologi di luar negeri. Sebaliknya, badan litbang menolong industri dalam peran sebagai konsultan dan pelaksana litbang, sehingga daya tawar mereka lebih kuat di mata produsen teknologi asing [4].

Selain dari wahana mendapatkan teknologi, industri Korsel juga aktif mencari tenaga kerja teknisi berpengalaman dari berbagai industri yang sudah eksis. Strategi ini menolong industri Korsel pada 1960 hingga 1970-an melesat cepat di sektor elektronik, kimia, pembuatan kapal, permesinan, dan tekstil [4].

Bisa kita katakan keberhasilan transfer teknoogi Korsel tidak langsung dari instrumen kebijakan iptek, melainkan dari keaktifan pemerintah menciptakan iklim kompetitif yang industri harus hadapi. Ragam kebijakan mendorong ekspor efektif mendorong para pengusaha membuat target-target nyata bersaing dengan industri asing yang lebih maju sehingga akhirnya melesatkan pembangunan perekonomian Korea.

Bukti di Industri

Pengalaman menjalankan kebijakan transfer teknologi sukses oleh dua negara Asia Timur yang kini telah berhasil menjadi makmur dapat memberikan pelajaran signifikan dalam kepentingan meningkatkan efisiensi sektor industri Indonesia untuk menghadapi perasaingan global yang semakin ketat. Indonesia harus berhati-hati agar industrinya tidak terjebak dan berhenti dalam suatu tingkat kemampuan tertentu, karena bahkan negara-negara yang lebih tertinggal pun dapat bersaing melawan kita dengan menggerakkan tenaga kerja berpendapatan rendah mereka.

Dari catatan berbagai insiden di atas, jelas nampak fenomena transfer teknologi Iebih mudah dipahami sebagai bagian upaya menghubungkan iptek sebagai bagian variabel produksi dan desain [5]. Artinya, dalam analisis kebijakan, dampak transfer teknologi harus kasat mata (tangible) hingga mudah divalidasi.

Oleh karena itu, penting bagi para analis dan pengambil keputusan di Indonesia untuk tidak hanya terpaku pada retorika simbolisasi kemajuan semu ketika menjelaskan ke publik manfaat dari berbagai program kebijakan transfer teknologi. Pilihlah kejujuran menjelaskan kenyataan di lapangan.

Lebih jauh, kita perlu menyadari bahwa negara-negara yang maju secara teknologi
 tidak memiliki banyak insentif altruistik untuk membantu Indonesia menerima transfer teknologi. Oleh karena itu, adalah tugas pemerintah Indonesia untuk menjelaskan secara transparan agar masyarakat paham bahwa segala pengerahan sumber daya publik dalam program transfer teknologi adalah bagian upaya memenuhi cita-cita memajukan bangsa sendiri.

Untuk meningkatkan kepercayaan dan partisipasi masyarakat, para analis kebijakan dan pengambil keputusan dapat mempergunakan variabel-variabel dampak di industri. Misalnya, seberapa jauh dampak kebijakan terhadap taraf profitabilitas unit-unit industri maupun bagi suatu sektor ekonomi atau kawasan pemerintahan? Bagaimanakah optimisme para praktisi melihat kedepan? Sejauh mana dukungan akademisi dan litbang pemerintah? [5].

Selain itu, bila para analis dan pengambil keputusan terpaksa berhadapan dengan perintah politis yang tak mungkin dilawan, mereka tak harus berbohong ke publik tentang "kemanjuran" suatu kebijakan transfer teknologi.

Dalam tekanan semacam ini, mereka bisa mengenakan kacamata 
neo-classical economics yang terbukti selalu relevan dengan tiap pergantian kekuasaan suatu bangsa [1]. Sebagai contoh, mereka bisa menjelaskan ke masyarakat bagaimana pemerintah mengambil peran yang terbatas namun berdampak luas bagi kepentingan publik, atau menginformasikan peran kontributif perguruan tinggi dan lembaga riset dalam suatu isu transfer teknologi ke industri.

Dengan menjabarkan keterkaitan pemangku kepentingan pada suatu program transfer teknologi, para analis dan pengambil kebijakan dapat menunjukkan ke publik bahwa pada kenyataannya rencana kerja tersebut bukan untuk sebuah kejayaan semusim. 

Memanipulasi fakta tak bakal membantu siapun, malah hanya melemahkan generasi masa depan.

Catatan:

[1] Lihat Ericson (1998). Ericson, S. J. (1998). Importing Locomotives in Meiji Japan: International Business and Technology Transfer in the Railroad Industry. Osiris, 13, 129–153. http://www.jstor.org/stable/301881

[2] Lihat 
Tezuka, K. (n.d.). 20 Years of Railway Technical Research Institute (RTRI). https://www.ejrcf.or.jp/jrtr/jrtr47/f09_Tez.html 

[3] Lihat Butcher dkk (1992). Butcher, A., McLennan, N., Baker, S., McDonough, S., & Sherman, T. A. (1992.). Global competitiveness of U.S. Advanced-Technology Manufacturing Industries. Google Books. https://www.google.co.id/books/edition/Global_Competitiveness_of_U_S_Advanced_t/_qe1AAAAIAAJ?hl=en&gbpv=0 

[4] Lihat Kim (1992). Kim, L., & Dahlman, C. J. (1992). Technology Policy for Industrialization: An Integrative Framework and Korea’s Experience, 21(5), 437–452. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/0048-7333(92)90004-N 

[5] Lihat Bozeman (2000). Bozeman, B. (n.d.). Technology Transfer and Public Policy: A Review of Research and Theory. Research Policy, 29, 627–655. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1016/S0048-7333(99)00093-1

Mimpi Caleg

Mimpi para caleg tercermin jelas di jalanan, di mana poster-poster mereka berderet bergantungan. Banyak wajah baru politisi menyibak, entah ...