Konsep kunci. Lompatan teknologi dan mengejar ketertinggalan adalah dua hal yang memiliki pemahaman berbeda. Lompatan teknologi adalah perubahan teknologi yang tiba-tiba, sedangkan mengejar ketertinggalan adalah proses bertahap. Para analis kebijakan bisa membangun preskripsi menggunakan dua pendekatan berbeda tersebut, mengikuti ketentuan instansi masing-masing. Untuk itu, mereka perlu lebih menguasai berbagai instrumen kebijakan iptek dan inovasi.
Dalam tiap langkah percaturan pembangunan di tanah air, istilah "lompatan teknologi" selalu terdengar begitu mengguggah dan menyenangkan hati khalayak. Istilah ini merujuk pada perubahan luar biasa dalam skala besar, baik itu dalam berita pengembangan teknologi terbaru maupun penerapannya pada berbagai proyek tercanggih.
Namun, dalam kondisi di mana Indonesia masih memiliki reputasi tertinggal dalam kapabilitas teknologi, kita perlu setidaknya mempertanyakan frekuensi lompatan teknologi yang harus kita lakukan demi mencapai tujuan pembangunan. Apakah lompatan selalu lebih baik dari bergerak perlahan namun pasti?
Lompat Teknologi vs Mengejar Ketertinggalan
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita bisa merenungkan ajaran dari para ahli studi kebijakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi seperti
Prof. Jan Fagerberg dan Prof. Manuel Mira Godinho (2003). Mereka memberi petunjuk bahwa "lompatan teknologi" (
technological leapfrogging) berbeda maknanya dengan "mengejar ketertinggalan teknologi" (
technological catching-up).
Fagerberg dan Godinho mengungkapkan lewat studi kasus (2003, h. 19) bahwa suatu negara kecil bisa menikmati lompatan teknologi lewat pendekatan lebih pasif, misalnya dengan mengizinkan investor asing membawa dan mempergunakan teknologi milik mereka. Sebaliknya, mengejar ketertinggalan teknologi memiliki makna kejadian yang evolutif, lebih gradual.
Bila kita ringkas:
- Lompatan teknologi adalah perubahan teknologi yang terjadi secara tiba-tiba, melewatkan langkah-langkah yang para pemimpin pengembangan teknologi global perlukan untuk mencapai tingkat teknologi yang lebih tinggi.
- Technological catching-up atau mengejar ketertinggalan teknologis adalah suatu proses progresif meningkatan kapasitas teknologi suatu negara atau industri di negara berkembang agar mengikuti kemajuan teknologi di negara-negara maju.
Pola lebih perlahan kadang harus jadi pilihan alamiah, misalnya karena suatu negara tak bisa menghindari mewariskan faktor kurangnya sumber daya terdidik. Bagaimanapun, dari studi kasus lain atas negara yang kerap disebut terjebak dalam perangkap masyarakat kelas menengah (middle income trapped alias negara gagal makmur), yang mutlak pantang terjadi di Indonesia adalah lembaga-lembaga pengembang iptek tidak memiliki fungsi langsung dengan struktur pembangunan ekonomi [2].
Dengan demikian, mengejar ketertinggalan merupakan proses institusi-institusi mengenali dan mengkoreksi diri untuk menciptakan kebiasaan sebagaimana negara maju sudah wujudkan. Mengejar ketertinggalan bukan hanya masalah "iptek", namun juga ekonomi, politik, dan budaya [1].
Tak Semua Mau
Bila melihat dari kacamata ekonomi mikro, teknologi memegang peranan kunci dalam meningkatkan produktivitas dan efisiensi di seluruh sektor industri. Namun, peraturan dan hukum hak kekayaan intelektual serta hambatan keahlian halus (
tacit) yang tak bisa dipelajari dari literatur bisa menjadi penghalang bagi suatu perusahaan dalam memanfaatkan inovasi milik perusahaan lain, hingga suatu teknologi komponen atau proses yang unggul tak begitu saja menyebar di pasar industri [3].
Penting bagi kita untuk memahami bahwa inovasi tidak hanya berwujud dalam produk akhir, melainkan juga dalam komponen atau suku cadang, dan mesin atau metode produksi. Besarnya investasi untuk menghasilkan inovasi yang bernilai tinggi karena posisinya yang vital bagi suatu kelompok industri (disebut "teknologi kunci") akan menyulitkan negara berkembang ikut terjun memproduksinya.
Biarpun sulit, kenyataaannya negara-negara yang terlambat maju dapat secara revolusioner melakukan lompatan teknologi di industri dengan mengabaikan teknologi lama dan fokus pada teknologi baru yang invensi-invensi di dalamnya masih berkembang di seluruh dunia. Namun, agar bisa berhasil melompat secara teknologi, negara tersebut tetap perlu mengejar secara aktif lewat jalan litbang [4].
Tapi, apa alasan ada industri yang mau susah payah berlomba dalam invensi? Karena faktor keuntungan penggerak pertama (first mover's advantage), yaitu keunggulan dalam penguasaan, penciptaan jaringan, serta pembentukan skala dan pengaksesan pasar yang suatu industri dapatkan karena masuk sebagai pionir dalam suatu segmen bisnis tertentu (lihat gambar di bawah).
Klik gambar untuk memperbesar.
Ojol adalah segmen bisnis teknologis di mana Indonesia memiliki industri yang bisa menikmati keuntungan penggerak pertama. Di bidang ini, meskipun sangat inspiratif, sulit bagi pemain baru menyaingi ide-ide baru yang aktor pionir kembangkan.
Biar begitu, di tataran negara, perlu kita sadari, kebangkitan teknologi bangsa bukanlah suatu keputusan normal yang suatu kelompok industri begitu saja bisa putuskan meskipun mereka termasuk grup terunggul. Meminjam teorema Coase yang ilmu ekonomi ajarkan, suatu kelompok industri bisa saling bernegosiasi sehingga semua yang berkepentingan dapat mencapai kesepakatan di mana semua partisipan menjadi lebih baik dengan keputusan yang ada dan hasilnya efisien [3].
Dari proyeksi teorema Coase kita bisa mengatakan tidak semua industri mencari keuntungan penggerak pertama karena ia bisa memancing gesekan persaingan baru. Bagi industri umumnya, lebih cepat atau lambat memunculkan suatu produk tidak selalu jadi masalah sehingga tidak mengherankan bahkan di seantero ASEAN tingkat aplikasi paten teknologi baru tak pernah banyak berubah karena toh mereka bisa selalu mengandalkan produsen dari Asia Timur dan negara maju lain (lihat grafik di bawah).
Klik gambar untuk memperbesar.
Brdasarkan data yang ada, kita bisa mengatakan intensitas invensi industri di negara-negara kawasan ASEAN tidak pernah meningkat secara signifikan misalnya bila dibandingkan dengan capaian para produsen teknologi di Asia Timur.
Jelaslah sekarang mengapa sejarah mengajarkan bahwa di era modern pihak pemerintahlah, bukan industri, yang pertama kali motivasi memiliki untuk menggerakkan roda kebijakan teknologi untuk meningkatkan daya kompetisi [5]. Suatu perusahaan bisa tumbuh menjadi raksaksa dan sangat canggih, namun ia tidak akan sanggup mengemban amanah menggantikan peran pemerintah menciptakan perbaikan di seluruh masyarakat, termasuk dalam urusan iptek dan inovasi yang mereka sendiri butuhkan.
Berbagai Instrumentasi
Bagian di atas menggambarkan bagaimana ilmu ekonomi melihat tanggung jawab pemerintah dalam hal iptek dan inovasi adalah besar dan tak tergantikan. Tidak heran bila kepala pemerintahan di negara maju, seperti Amerika Serikat dan Jepang, mengawasi secara langsung masalah kebijakan iptek dan inovasi nasional.
Dengan memahami posisi pemerintahan ini kita bisa mengatakan setiap institusi sektoral di Indonesia memiliki kebutuhan dalam hal mengejar atau melakukan lompatan dalam bidang iptek dan inovasi. Para analis yang terlibat dapat memilihkan preskripsi pola agenda inovasi iptek - baik melakukan lompatan teknologi atau mengejar ketertinggalan - sesuai kebiasaan atau minat pimpinan institusi masing-masing.
Kini, kita bisa katakan, bila media menyoroti permasalahan sektor-sektor kurang produktif dan kompetitif, maka hal tersebut sangat mungkin erat kaitannya dengan kebijakan iptek dan inovasi. Oleh sebab itu, para analis perlu melihat berbagai opsi instrumen dalam ranah kebijakan iptek dan inovasi selain insentif pajak litbang sehingga iptek dapat memilliki seluruh konstruksi hulu-hilir (lihat gambar di bawah).
Klik gambar untuk memperbesar.
Hubungan antara ranting kebijakan bidang ilmu pengetahuan (sains), teknologi, dan inovasi beserta instrumen-instrumennya.
Sumber: Lundvall dan Borrás (2006) [5]
Demikianlah ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam pembangunan seluruh sektor perekonomian. Kepentingan pemerintahan ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi bukanlah masalah apakah para peneliti, teknolog, atau para cendekiawan membawa perubahan dengan cepat atau lambat, namun pada apakah suatu negara mencapai pembangunan berkelanjutan.
Catatan:
[1] Lihat Fagerberg dan Goidnho (2003). Fagerberg, J., & Godinho, M. M. (2003). Innovation and catching-up. Ottawa, Kanada; Lokakarya “The Many Guises of Innovation: What we have learnt and where we are heading.”
[2] Intarakumnerd, P., Chairatana, P., & Tangchitpiboon, T. (2002). National innovation system in less successful developing countries: the case of Thailand. Research Policy, 31, 1445–1457. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/S0048-7333(02)00074-4
[3] Lihat misalnya Mankiw (2017). Mankiw, N. G. (2017). Principles of microeconomics (7th ed.). CENGAGE Learning Custom Publishing.
[4] Lihat Lee dan Lim (2001). Lee, K., & Lim, C. (2001). Technological regimes, catching-up and leapfrogging: findings from the Korean industries. Research Policy, 30(3), 459–483. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/S0048-7333(00)00088-3
[5] Lihat Lundvall dan Borrás (2006). Lundvall, B.-Å., & Borrás, S (2006). Science, Technology, and Innovation Policy . In S. Borrás (Ed.), The Oxford Handbook of Innovation. essay. Retrieved from https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199286805.003.0022.