Tampilkan postingan dengan label Struktur dan Proses Kebijakan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Struktur dan Proses Kebijakan. Tampilkan semua postingan

03 November 2023

Agar Kebijakan Hilirisasi Berhasil



Konsep kunci. Tulisan ini menekankan pentingnya fungsi analis untuk mendukung program hilirisasi sumber daya alam. Dalam tugas membangun rekomendasi kebijakan bidang iptek dan inovasi, para analis perlu melakukan perbandingan sektoral dengan negara maju. Satu sektor bisa kita anggap memiliki basis pengetahuan sama di seluruh dunia sehingga performa negara maju di bidang tersebut dapat merefleksikan apa yang pemerintah Indonesia perlu lakukan di sektor yang sama.


Baru-baru ini media memberitakan pemerintah berharap kabinet berikutnya bisa melanjutkan program hilirisasi sumber daya alam (SDA). Bila kita sarikan apa yang media beritakan, hilirisasi adalah proses meningkatkan nilai tambah komoditas yang dihasilkan suatu negara, terutama pada sektor pertambangan [1].

Namun, konsep hilirisasi yang beredar di masyarakat masih terbatas pada pengertian tradisional, yaitu mengolah bahan mentah menjadi produk setengah jadi atau jadi. Padahal, bila kita tilik literatur, para ahli analis kebijakan iptek dan inovasi global mengartikan hilirisasi (downstream) secara lebih luas, yaitu kegiatan litbang terapan, riset pengembangan produk, atau penelitian tingkat pasar [2].

Di kacamata kebijakan iptek dan inovasi global, semua sektor bisa menjadi hilir dan satu bidang dapat jadi muara bagi bidang lainnya. Misalnya, industri pertambangan untuk kesinambungannya perlu menarik dukungan inovasi dari sektor-sektor lain, seperti industri pembuatan kapal laut, teknik mesin, instrumentasi elektronika (lihat gambar di bawah) [3].



Klik gambar untuk memperbesar.

Bila melihat konseptualisasi di atas (Smith, 2006), seperti pada bidang manufaktur tradisional, pertanian, konstruksi perumahan, industri pertambangan yang kuat membutuhkan dukungan dari industri-industri pendukungnya.  Oleh karena itu, para analis perlu menyelidiki dugaan apakah masalah sejati bidang pertambangan bukan berada di sektor itu sendiri, tapi ada di area-area pendukungnya, seperti industri pembuatan kapal laut (shipbuilding), teknik mesin, dan instrumentasi elektronika. Bila itu benar, untuk memperbaiki sektor pertambangan, maka konsekuensinya, pemerintah bisa mendorong sektor pertambangan jadi bidang yang menciptakan permintaan (demand) inovasi dari sektor-sektor pendukungnya.


Bila tidak teliti, perbedaan pengertian hilirisasi yang populer dan kaum ahli pahami ini dapat menjadi jebakan bagi para analis kebijakan. Lantas, bagaimana para analis dan pengambil keputusan sebaiknya menyikapi isu hilirisasi?

Permintaan Sektoral

Semua warga Indonesia ingin negaranya sukses dalam hilirisasi SDA. Untuk itu, para analis dan pengambil keputusan perlu berani membandingkan sektor pertambangan Indonesia dengan negara-negara lain, terutama yang memiliki reputasi berkamampuan teknologi tinggi.

Komparasi ini penting bukan karena tujuan membuat berita hiperbolis. Tujuannya adalah menghasilkan rekomendasi empiris untuk kebijakan yang dapat meningkatkan kapabilitas teknologi sektor pertambangan Indonesia.



Operasi pertambangan di Indonesia (kiri), Amerika Serikat (AS) (tengah), dan China (kanan), serta negara lain punya basis pengetahuan sama. Dari prinsip kesamaan pengetahuan itu, para analis bisa membandingkan kondisi inovasi pertambangan di ketiga negara.

 Foto:
Harahap (2014, Creative Commons)USDA (2019, Creative Commons), Lawford (2005, Creative Commons).


Pada prinsipnya, hukum sains yang mempengaruhi segala invensi teknologi akan berlaku sama di manapun di alam semesta. Dalam perspektif analisis kebijakan, perbedaan nilai invensi bukan dari faktor alamiah, melainkan sosial, yaitu dari bagaimana industri setempat melindungi invensi mereka dari tiruan pesaing.

Para pengusaha adalah yang punya peran penting menciptakan dinamika dalam memanfaatkan kesempatan teknologis. Beberapa pengusaha menghancurkan pola bisnis lama (fenomena yang biasa disebut "Schumpeter Mark I"), sementara lainnya mengakumulasikan pengetahuan mendominasi pasar ("Schumpeter Mark II") [4].

Di tataran sektor, faktor pembeda antar bidang adalah sumber inovasi dan mekanisme penyesuaiannya (appropriability) oleh industri. Di antara sektor industri, pengelompokan yang biasa berlaku jadi patokan awal analisis adalah sebagai berikut [4][5]:

  1. Sektor yang memerlukan dukungan eksternal (misalnya sektor manufaktur tradisional, pertanian, konstruksi perumahan);
  2. Sektor yang menekankan faktor besarnya skala. Bidang ini menekankan inovasi proses. Sumber inovasinya sendiri berasal dari dalam (litbang khusus dan atau dari pengalaman rutin) maupun pihak eksternal (seperti para penyedia peralatan). Contoh sektor skala ini adalah industri otomotif dan baja;
  3. Sektor pemasok khusus (misalnya produsen peralatan), yang memfokuskan inovasinya pada peningkatan kinerja, keandalan, dan penyesuaian khusus. Sumber inovasi berasal dari pihak internal (misalnya pengalaman para teknisi) dan eksternal (interaksi dengan konsumen). Contoh sektor ini adalah industri peralatan konstruksi dan pertambangan, serta instrumentasi;
  4. Sektor berbasis ilmu pengetahuan. Karakter sektor ini ada pada tingginya tingkat inovasi produk dan proses, melalui litbang internal, maupun kerjasama riset bersama perguruan tinggi dan lembaga riset publik. Sumber inovasi mereka adalah perkembangan ilmu pengetahuan dengan cara penyesuaian antara lain melalui paten, upaya riset yang lebih cepat, dan perlindungan rahasia perusahaan. Contoh sektor ini adalah misalnya farmasi dan elektronik.

Berdasarkan konsep pengelompokan di atas, kita patut asumsikan industri di sektor pertambangan Indonesia perlu fokus pada dua hal utama untuk berinovasi: tenaga kerja terampil dan kerja sama antar industri (business-to-business). Kedua hal ini merupakan sumber inovasi yang paling potensial untuk mengangkat inovasi di sektor pertambangan, prioritasnya ada di atas aktivitas litbang.

Lebih lanjut, karakter suatu sektor inovasi di satu negara dapat kita katakan punya satu kesamaan dengan sektor serupa di negara lain terutama karena basis pengetahuan keduanya adalah sama [6]. Dari titik masuk kesamaan pengetahuan itulah analisis perbandingan bisa berlangsung.

Dari analisis satu sektor sama namun dengan negara-negara berbeda, para analis bisa menghasilkan berbagai kesimpulan rekomendasi tentang bagaimana mendorong permintaan (demand) akan inovasi dalam sektor pertambangan di Indonesia. Ini karena di suatu sektor ada interaksi permintaan-penyedia (supply) antar industri.

Kebijakan permintaan terhadap inovasi akan memberikan sinyal prospek lebih kuat bagi industri di suatu sektor dibanding kebijakan penyediaan. Sebaliknya, bila suatu pemerintahan menyediakan kesempatan iptek dan inovasi terlalu banyak (crowding out) — misalnya menyelenggarakan riset tanpa memperhatikan kebutuhan industri — maka dampaknya secara logis dapat menjadi kontraproduktif karena justru akan meningkatkan impresi bahwa litbang bukan urusan industri [7].

Analisis Berdampak

Analisis kebijakan di bidang iptek dan inovasi memiliki tujuan utama untuk menggalakkan inovasi iptek agar memberikan dampak sosial dan ekonomi yang positif. Di dalam praktiknya, para analis kebijakan tidak memiliki kebebasan mutlak dalam menentukan arah kerja mereka, melainkan harus mempertimbangkan berbagai batasan pada aspek hukum, anggaran, regulasi, target lembaga, panduan dari atasan, serta memperhatikan perubahan tren politik dan masukan dari kolega sejawat.

Seiring dengan meningkatnya karir, seorang analis kebijakan akan menerima kesempatan lebih besar mempengaruhi perjalanan agenda kebijakan. Kesempatan ini seringkali muncul saat mereka menerima  tugas untuk mengevaluasi program kebijakan yang berlangsung secara rutin pada akhir setiap tahun anggaran.

Karena kerangka kerja seorang analisis menyangkut hal nonteknis bahkan politis, keberhasilan dalam menyusun rekomendasi kebijakan tidak hanya bergantung pada data yang ia sajikan [8]. Di sinilah kombinasi integritas etika dan wawasan luas menjadi sangat penting bagi seorang analis kebijakan, agar rekomendasi yang ia ajukan benar-benar memberikan manfaat positif bagi masyarakat.

Sebagai contoh praktik di Indonesia, kita dapat mengacu pada berita mengenai lembaga pemerintah di bidang energi dan mineral yang beberapa tahun lalu berhasil mengajukan beberapa paten sebagai hasil litbang. Namun, jika kita membandingkannya dengan prestasi lembaga riset sektor pertambangan di berbagai negara maju secara teknologi (Fernandez, 2021), jumlah paten tersebut tampak terlalu kecil karena jauh di bawah capaian lembaga riset sektor pertambangan di negara-negara yang maju dalam teknologi.

Bila pencapaian lembaga tersebut sesuai arah kebijakan sebelumya, maka analisisnya terlalu lemah. Oleh karena itu, wajarlah bila kemampuan inovasi dan teknologi hilirisasi mineral hingga saat ini masih bergantung pada teknologi impor karena memang preskripsi kebijakannya lemah. 

Apabila tidak ada perbaikan kualitas rekomendasi para analis kebijakan, sektor binaan lembaga tersebut akan statis kondisinya.

Di masa depan, para analis kebijakan perlu mempeluas wawasannya dengan menjalankan studi perbandingan kondisi negara-negara kuat di sektor setaraf. Perkaya substansi, agar preskripsi kuat.

Tanpa wawasan yang memadai, kerajinan seorang analis pun jadi minim arti. Rekomendasi yang analis miskin wawasan berikan berpotensi membuat pengambil keputusan tergelincir pada jalur yang tidak tepat, dan masyarakatlah yang menanggung mudarat.

Demikianlah analis yang terampil adalah kunci kebijakan yang berhasil.



Catatan:

[1] Lihat CNN Indonesia (2023), Tempo (2023), 

CNN Indonesia. (2023, Februari 21). Marak Digaungkan Jokowi, Apa Itu Hilirisasi? https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20230221100544-85-915697/marak-digaungkan-jokowi-apa-itu-hilirisasi

Tempo. (2023, Juli 11). Arti Hilirisasi Dan Fungsinya. https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/483154/arti-hilirisasi-dan-fungsinya

[2] Lihat buku Oxford Handbook of Innovation yang merupakan bahan referensi dasar studi kebijakan iptek dan inovasi. Fagerberg, Jan, and David C. Mowery (eds), The Oxford Handbook of Innovation (2006), https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199286805.001.0001.

[3] Lihat Smith (2006). Smith, Keith, ' Measuring Innovation', in Jan Fagerberg, and David C. Mowery (eds), The Oxford Handbook of Innovation (2006), https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199286805.003.0006.

[4] Lihat Malerba (2006). Malerba, Franco, ' Sectoral Systems: How and Why Innovation Differs across Sectors', in Jan Fagerberg, and David C. Mowery (eds), The Oxford Handbook of Innovation (2006), https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199286805.003.00143.

[5] Lihat Pavitt (1984). Pavitt, K. (1984). "Sectoral patterns of technical change: towards a taxonomy and a theory". Research Policy. 13 (6): 343–373. https://doi.org/10.1016/0048-7333(84)90018-0.

[6] Lihat bahan-bahan dari Prof. Franco Malerba antara lain Malerba (2002), tokoh yang banyak berkontribusi memperkenalkan konsep sistem inovasi sektoral. Malerba, F. (2002). Sectoral systems of innovation and production. Research Policy, 31(2). https://doi.org/https://doi.org/10.1016/S0048-7333(01)00139-1

[7] Lihat diskusi terkait misalnya dalam Guellec dan van Pottelsberghe de la Potterie (2000). Guellec, D., & van Pottelsberghe  de la Potterie, B. (n.d.). The Impact of Public R&D  Expenditure on Business  R&D. https://dx.doi.org/10.1787/670385851815

[8] Lihat diskusi tentang kontradiksi ini misalnya di Mankiw (2017, p. 28). Mankiw, N. G. (2017). Principles of microeconomics (7th ed.). CENGAGE Learning Custom Publishing.

Mimpi Caleg

Mimpi para caleg tercermin jelas di jalanan, di mana poster-poster mereka berderet bergantungan. Banyak wajah baru politisi menyibak, entah ...