Tampilkan postingan dengan label Politik Iptek dan Inovasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Politik Iptek dan Inovasi. Tampilkan semua postingan

26 Januari 2024

Mimpi Caleg




Mimpi para caleg tercermin jelas di jalanan, di mana poster-poster mereka berderet bergantungan. Banyak wajah baru politisi menyibak, entah bagaimana mereka mengukur peluang menghadapi pertarungan politis yang tentu melibatkan biaya banyak.

Pemandangan serupa sesunguhnya melingkupi ranah ilmiah di Indonesia. Data Scopus/SciVal (lihat Tabel I) mendedahkan bahwa selama kurun 10 tahun terakhir (2013-2022), Indonesia mencatat kenaikan jumlah kontributor penulis ilmiah tertinggi di antara anggota G20, mencapai angka fantastis sekitar 31,52%.

Jika pemerintah cakap mempertahankan akselerasi pertumbuhan yang tinggi ini, pada tahun 2030 2031 (revisi 28 Januari 2024), jumlah sumber daya manusia (SDM) baru iptek di Indonesia akan melampaui angka satu juta. Berbarengan dengan India, Indonesia akan masuk dalam liga teratas dalam pemilik SDM berkemampuan jadi produsen iptek bersama Amerika Serikat, Cina, dan Uni Eropa.

Bukan hanya sebagai akademisi atau peneliti, dengan kapabilitas menyerap dan menghasilkan pengetahuan baru, SDM iptek itu berpotensi merintis spesialisasi baru berbagai bidang industri hingga mendiverifikasikan perekonomian Indonesia. Dengan jumlah SDM mumpuni jauh lebih besar, bangsa Indonesia pun perlu bermimpi lebih besar. 

Politik Inovasi 

Kita perlu ingat, gerakan inovasi di antara negara-negara paling berpengaruh dalam inovasi teknologi di zaman iptek ini terutama karena dukungan politik, bukan semata hasil analisis profitabilitas bisnis yang cermat. Sebuah contoh bagus adalah Silicon Valley, salah satu kawasan pusat industri teknologi tinggi dunia, yang tumbuh natural melalui sokongan pendanaan riset tingkat nasional dan dukungan kewirausahaan dari pemerintah setempat. 

Secara konseptual, dorongan politik akan menolong lahirnya kebijakan mengintegrasikan aktor-aktor spesialis pada konteks sosioekonomi yang lebih luas sehingga segala upaya inovasi bisa memiliki skala, arah, dan kesuksesan memadai (Edquist, 2009). Konsistensi tradisi politik pro iptek juga akan membantu akseptasi kolektif terhadap kehadiran teknologi baru dengan segala dampaknya yang kenyataanya tak selalu positif (misalnya, mengakibatkan hilangnya satu jenis usaha).

Apapun skop pembicaraannya – daerah, nasional, sektoral maupun multinasional – setiap politisi sepatutnya punya sumbangan dalam memagnifikasi visi inovasi Indonesia. Ini karena ilmu pengetahuan selalu terhubung dengan hak kekayaan intelektual yang merupakan aset tak terwujud hingga distribusi efek positif ilmu pengetahuan bagi pembangunan akan sangat membutuhkan dorongan politis yang juga berkarakter imajiner namun terasa konkret keberadaannya di masyarakat.

Pentingnya pengaruh kekuatan politik ini bisa terlihat misalnya dari bagaimana tingginya reputasi inovasi teknologi Singapura yang tidak menyebar ke negara-negara tetangga biarpun secara alamiah, posisi geografis mereka sangat dekat. Tanpa meningkatkan motivasi politisnya sendiri, negara-negara tetangga Singapura termasuk Indonesia tak bakal bisa menikmati perbaikan reputasi inovasi di mata dunia.

Pembeda prestasi inovasi bangsa-bangsa bukanlah dari faktor tanpa sadar, melainkan dari komitmen politiknya. Oleh sebab itu, di sisa tulisan ini, penulis memberikan beberapa ide yang para politisi bisa wujudkan kelak agar mereka bisa turut mendefinisikan tujuan politis negara terhadap iptek. 

Kontribusi Politikus

Dalam langkah-langkah mendukung eksistensi iptek di Indonesia, terdapat aspek mendasar yang seharusnya menjadi fokus para politikus, yaitu membangun pusat diseminasi iptek di daerah yang memberikan jaminan akses bagi konstituennya untuk menyuarakan kebutuhan inovasinya. Lembaga kedaerahan semacam ini menjadi penentu utama dalam membantu aktor industri lokal membentuk relasi strategis dengan industri lain, perguruan tinggi, dan lembaga riset di seluruh Indonesia, sehingga dapat mengurangi risiko kegagalan inovasi.

Tengoklah pengalaman Jepang, dimana jaringan lembaga diseminasi iptek telah merajai kota dan daerah rural selama lebih dari satu abad (Fukugawa, 2022). Para pemangku kepentingan dapat dengan mudah menelaah dan mengadopsi desain institusi kuat semacam itu dari Jepang, negara sahabat kita, sehingga dorongan politikus mendirikan pusat diseminasi iptek yang terpercaya dapat lebih cepat terealisasikan dan area unggulan kompetitif daerah pun segera terjelma.

Ide lain yang para politisi dapat ekskusi dengan biaya relatif rendah adalah mendorong perguruan tinggi lebih proaktif dalam menyebarkan hasil penelitian yang relevan dengan kebutuhan masyarakat di wilayah pemilihannya atau seiras dengan fokus partai politik masing-masing. Upaya ini tidak hanya bernilai praktis, tetapi juga dapat memupuk tumbuhnya norma di kalangan peneliti, khususnya dalam menggunakan dana publik, agar memprioritaskan agenda transfer pengetahuan untuk memaksimalkan dampak sosioekonomi dari riset yang mereka jalankan.

Di skala nasional, politisi dapat memobilisasi proyek-proyek unggulan nasional yang berbobot strategis, yang mampu menggerakkan seluruh sektor perekonomian secara serentak. Walaupun demikian, intervensi politik harus selaras dengan prinsip menghormati persaingan usaha, guna memperkuat daya saing industri Indonesia di panggung global.

Di tataran multinasional, para politisi dapat turut mempromosikan penelitian dalam ilmu dasar yang berperan dalam produksi pengetahuan generik untuk menjadi fondasi bagi berbagai aplikasi di sektor-sektor publik. Menyimak pendanaan riset Angkatan Darat AS yang baru-baru ini berkontribusi pada pemenang Nobel, dukungan politik terhadap bidang dasar dapat memperkuat prestise internasional pemerintahan iptek di Indonesia.

Seperti tercermin dari penghargaan Nobel, tiap detil dinamika keunggulan keilmiahan cenderung terpantau komunitas sains antarnegara sehingga penting untuk disadari bahwa evaluasi dampak kebijakan iptek dan inovasi mustahil bisa politikus manipulasi. Setidaknya data-data saintometrik (analisis pengukuran literatur ilmiah dan paten), seperti yang tulisan ini berikan di atas, hampir tidak mungkin dipalsukan karena termanifestasi oleh komunitas iptek di seluruh dunia.

Kuatnya nuansa supranasional dari komunitas iptek yang keanggotaannya tak berbatas demarkasi politis memberikan peringatan bagi para politikus untuk jangan pernah membohongi publik soal inovasi iptek karena pasti cepat ketahuan. Demikianlah kita membutuhkan politikus yang bergagasan tulen, bukan bermimpi semusim hanya saat pemilu berlangsung, untuk konsisten membantu kemajuan iptek dan inovasi di Indonesia.


Amir Manurung, Doktor Kebijakan Publik (Iptek dan Inovasi) dari National Graduate Institute for Policy Studies, Tokyo, Jepang.






Klik gambar untuk memperbesar.

Koreksi
(Minggu, 28 Januari 2024) Terdapat revisi pada tabel karena kesalahan perhitungan. Sebelumnya, Indonesia terlihat menembus angka 1 juta pada 203. Setelah revisi, tahun berubah menjadi 2031. Tabel lama ada di sini. Perbaikan tidak mengubah saran kebijakan.

10 November 2023

Perguruan Tinggi dan Lembaga Riset, Apa Bedanya?



Konsep kunci. Tulisan ini mendeskripsikan mengenai perbedaan fungsi antara perguruan tinggi dan lembaga riset sehingga pendanaan atas mereka dalam waktu sama tidaklah bersifat duplikatif. Karena sejarahnya, perguruan tinggi mempunyai karakter lebih memetingkan kebebasan. Sebaliknya, peran lembaga riset lebih terikat pada arahan pemerintah atau misi formal yang lebih spesifik. Meskipun di dunia tidak ada standar tunggal untuk menilai keberhasilan lembaga riset di berbagai negara, namun para analis bisa mempelajari bagaimana peran institusi tersebut dalam menolong negara mengejar ketertinggalan. 


Masyarakat umum, bahkan tokoh-tokoh elit dalam opini publiknya, seringkali memperlakukan perguruan tinggi dan lembaga riset sebagai entitas yang punya peran identik, yaitu menghasilkan pengetahuan baru [1]. Namun, bila kita mengamati secara seksama, sulit untuk membedakan dengan tegas perbedaan fungsi di antara keduanya.

Bagi para analis kebijakan, pertanyaan menarik dalam hal ini adalah mengapa pemerintah-pemerintah di berbagai negara dunia mendirikan badan riset sekalipun mereka biasanya sudah memiliki banyak perguruan tinggi yang rutin melaksanakan penelitian? Mengapa pemerintah harus membiayai satu aktivitas sama di dua jenis lembaga berbeda?

Bagi analis kebijakan, penting untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut karena dapat membantu mereka memberikan saran kebijakan yang lebih efesien dan mengoptimalkan anggaran yang terbatas.

Perlu pembaca perhatikan, tulisan ini tidak bertujuan normatif, bukan untuk menjelaskan apa yang “seharusnya terjadi” di Indonesia. Lebih tepatnya, tulisan ini bertujuan memperkaya wawasan para analis, agar mereka bisa memberikan saran kebijakan yang menghargai rasa percaya dan hormat publik terhadap ilmu pengetahuan, teknologi (iptek), dan inovasi.

Evolusi Peran Perguruan Tinggi



Budaya perguruan tinggi telah berkembang dan menyebar selama hampir seribu tahun. Budaya simbolik seperti dalam jubah berwarna gelap pada acara wisuda adalah serupa di perguran tinggi di berbagai negara di dunia. Materi dan substansi yang sebangun menyebabkan kita dapat menggunakan institusi perguruan tinggi di negara maju sebagai model bagi pemikiran kebijakan di Indonesia (foto: ilustrasi AI)


Pada tahap awal, titik mula pendirian perguruan tinggi tercatat dalam sejarah ketika di kota Bologna mulai tumbuh kebiasaan berorganisasi di kalangan masyarakat di abad ke-12. Pedagang dan pengrajin membentuk persatuan-perserikatan, sementara para pelajar membentuk universitas yang secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai "komunitas pembelajar" [3].

Para penguasa setempat pada masa itu melihat universitas sebagai elemen penting dalam menyusun tatanan hukum dan sistem perundangan, juga sebagai alat untuk menarik kekayaan dan meningkatkan prestise kota. Mereka lalu memberikan dosen dan mahasiswa perlindungan serta perlakuan istimewa dalam ranah hukum, dan Universitas Bologna pun selama beberapa ratus tahun menjadi panutan bagi lembaga-lembaga serupa di wilayah lain [3].

Para penguasa keagamaan atau wilayah kemudian mendirikan lembaga serupa, sebagian untuk mempelajari berbagai keterampilan tinggi (liberal arts), lainnya hanya hukum dan kedokteran. Pada umumnya, universitas-universitas tersebut mengakui tunduk pada kewenangan otoritas wilayah dan keagamaan setempat [3].

Walaupun berbeda dengan pola yang berlaku pada zaman kita, seiring berjalannya waktu, berbagai unsur yang membentuk karakter universitas modern mulai terbentuk. Perubahan tersebut mencakup regulasi dalam merekrut pengajar, sistem kompensasi dosen, distribusi buku pelajaran, prosedur penerimaan mahasiswa dan pengajar dari luar negeri, simbol identitas (pakaian, bendera, dan pernik lainnya), proses evaluasi, pengeluaran ijazah, penamaan gelar akademik, operasional asrama, manajemen bangunan, struktur administratif universitas, otonomi perguruan tinggi, penentuan kurikulum, metode belajar skolastik (memanfaatkan logika untuk untuk menafsirkan dan menyatukan berbagai teks), penyerapan pengetahuan dari praktisi di luar dunia akademik, serta harapan-harapan seputar peran dan kualitas lulusan dalam masyarakat [3].

Ketika itu, studi hukum dianggap sebagai disiplin ilmu yang sangat menjanjikan. Bidang ini mempersiapkan mahasiswa untuk berkarir di pemerintahan, baik dalam ranah keagamaan (ecclesiastical) maupun sipil [3].

Hal mendasar yang membedakan perguruan tinggi pada masa awal dengan masa kini adalah, pada umumnya, mereka tidak mengajarkan materi-materi praktikal seperti arsitektur, peternakan, dan pembedahan (meskipun kedokteran sudah termasuk dalam program). Namun, perkembangan pola dan topik pengajaran di perguruan tinggi merupakan pencerminan perubahan dalam tatanan sosial masyarakat [3].

Di abad ke-14, kelompok intelektual humanis yang berkumpul di luar universitas menciptakan Era Pencerahan (Renaissance). Di abad berikutnya, kalangan akademik sudah mengadopsi gaya humanis yang lebih lentur, persuasif, dan kaya dalam berekspresi sehingga mudah menyerap ke berbagai komunitas [3].

Perlengkapan intelektual yang humanisme berikan ternyata juga menyebabkan para akademisi menjadi lebih kritis terhadap bahan-bahan pembelajaran tradisional. Kebiasaan baru ini akhirnya mempengaruhi reformasi dalam struktur bidang studi, yang pada akhirnya menghasilkan bentrokan dengan otoritas, seperti yang tampak pada kasus Galileo Galilei yang memperkenalkan teori heliosentrik [3].



Saat ini, semua kalangan bebas belajar ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) untuk kepentingan hidupnya sendiri. Kebebasan tersebut merupakan pengaruh dari perkembangan budaya perguruan tinggi yang menyebar ke masyarakat luas (foto: ilustrasi AI)


Ide-ide segar yang cendekiawan universitas bawakan sejatinya mengguncang fondasi pranata masyarakat karena menjelaskan bahwa hukum alam memiliki keabadian yang lebih kuat dari peraturan sosial di masyarakat. Cara pandang baru itu ikut mendorong lahirnya Deklarasi Kemerdekaan Amerika pada tahun 1776 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara Perancis tahun 1779 yang merupakan seruan untuk mengakhiri status istimewa kelompok-kelompok yang saat itu berkuasa [3].

Kalangan universitas yang sebelumnya submisif di bawah otoritas, akhirnya menyuarakan perubahan kekuasaan. Mereka pun berekspansi, membentuk organisasi semacam Royal Society di Inggris Raya dan Akademi Sains Prancis - institusi serupa kemudian berdiri di negara-negara lain, yang mempromosikan dan memanfaatkan talenta ilmiah dan seni [3].

Tidak hanya di situ, di abad ke-19, semakin banyak perguruan tinggi yang berdiri langsung dengan tujuan praktikal atau vokasi sehingga makin jauh meninggalkan kebiasaan berorientasi pada kekuasaan. Contoh perguruan tinggi tersebut adalah Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan California Institute of Technology (Caltech) [4]. 

Saat ini, semakin banyak negara maju dan berkembang menempatkan perguruan tinggi sebagai instrumen pembangunan dan perubahan ekonomi berbasis pengetahuan. Sejak tahun 1970-an, pemerintah berbagai negara telah berupaya meningkatkan laju transfer kemajuan penelitian akademis ke industri [5].

Berbagai variasi peran perguruan tinggi dalam sistem inovasi nasional antara lain [5]:
  • Menyebarkan informasi iptek hingga mengefesienkan litbang industri;
  • Menyediakan keahlian (dalam figur dosen) dan tenaga kerja;
  • Memasok prototipe untuk produk dan proses baru;
  • Menjadi konsultan dan mitra litbang bagi industri, termasuk bagi perusahaan yang bergerak di sektor berbasis ilmu pengetahuan;
  • Mengembangkan kawasan komersialisasi teknologi (menghasilkan industri unggulan daerah);
  • Memperkuat karakter sektor unggulan daerah.
Perguruan tinggi juga dapat bertindak menyebarluaskan informasi teknologi industri bagi publik dalam bentuk paten teknologi yang menjadi referensi litbang bagi masyarakat luas [6]. Tentu saja ini bisa terjadi manakala industri setempat sudah memiliki kebiasaan atau kemampuan menghitung profitabilitas investasi litbang.

Selain itu, mengambil inspirasi dari kebijakan negara maju (tepatnya Bayh—Dole Act), analis kebijakan bisa mengevaluasi sejauh mana tingkat perhatian perguruan tinggi lokal terhadap manajemen aset hak kekayaan intelektualnya. Namun, tanpa adanya kesadaran di industri, sulit untuk memproyeksikan perguruan tinggi dengaan karakter kebebasannya yang tinggi dapat aktif melakukan transfer teknologi ke industri.

Dengan kata lain, bila suatu negara berkembang ingin meniru keberhasillan MIT atau Caltech, misalnya, mereka perlu mengingat bahwa institusi-institusi tersebut berdiri di wilayah yang sudah memiliki industri lebih matang dan beragam sehingga punya permintaan lebih tinggi terhadap modal iptek.

Lembaga Riset

Tidak seperti perguruan tinggi, lembaga riset (public research institute) tidak punya citra seragam. Ada negara yang sangat mengandalkan mereka, ada yang tidak [7]. 

Tidak seperti perguruan tinggi yang memancarkan citra kosmopolitan dan egaliter, lembaga riset memiliki peran yang bersifat khusus, berdasarkan arahan pemerintah. Ada yang mendapat tugas di bidang ilmu dasar, lainnya ada yang fokus ke tataran terapan mengikuti permintaan pasar, sehingga aktivitas riset di lembaga riset lebih terfokus daripada di perguruan tinggi [7][8].

Di negara maju, beberapa tren perilaku dan masalah lembaga riset adalah sebagai berikut [8]:
  • Keterbukaan dan responsif: Lembaga riset diharapkan meningkatkan keterbukaan dan respons terhadap kebutuhan pasar;
  • Bersaing dalam pendanaan: Lembaga riset semakin mengandalkan pada berbagai pendanaan riset yang kompetitif;
  • Tantangan sumber daya manusia: Mengalami tantangan lebih besar dalam mempertahankan dan mengoptimalkan sumber daya manusia (SDM);
  • Jaringan pribadi: Jaringan pribadi SDM ke komunitas industri dan internasional merupakan modal bagi lembaga;
  • Relevansi lembaga: Pengarahan dan tata kelola yang efektif sangat penting untuk memastikan relevansi lembaga;
  • Motivasi pemerintah: Pemerintah perlu mendorong lembaga lebih sukses dalam evaluasinya melalui peningkatan otonomi, kolaborasi, dan daya tanggap terhadap pemangku kepentingan [8].
Bila mendapat tugas mengevaluasi lembaga riset, para analis kebijakan perlu memperhatikan bahwa bahwa mereka tidak bisa menetapkan ukuran keberhasilan secara seragam. Setiap lembaga riset memiliki karakteristik dan tujuan yang berbeda.

Sebagai contoh, beberapa lembaga riset mungkin tidak bisa menghasilkan banyak paten, namun lebih berfokus pada publikasi ilmiah karena mereka berfungsi melayani kepentingan masyarakat luas dalam bidang tertentu. Sementara itu, mungkin ada lembaga lain yang memerlukan evaluasi kualitatif karena sejarah perkembangan mereka telah mengikuti perubahan dalam kompleksitas ekonomi negara [8].

Para analis juga bisa memetik pelajaran tentang bagaimana intervensi pemerintah mengatasi hambatan inovasi di sektor industri dengan memeriksa operasi lembaga riset di negara maju. Peran lembaga riset sangat relevan dalam mengejar ketertinggalan, dan hal ini dapat mencakup antara lain [8]:
  • Menolong industri lokal memahami teknologi canggih dari luar negeri sehingga meningkatkan kelajuan pembangunan ekonomi;
  • Menyiapkan berbagai pengetahuan atas teknologi baru yang masih berkembang di dunia sebagai bagian strategi mempercepat adaptasi oleh industri lokal;
  • Menciptakan platform jaringan antar industri hingga bisa menciptakan rantai industri lebih utuh atas suatu jenis teknologi yang mash berkembang;
  • Membantu industri menterjemahkan berbagai invensi baru kedalam tataran komersial hingga meningkatkan daya kompetisi ekspor mereka;
  • Menghimpun dukungan pemerintah (termasuk dalam format yang tersedia dalam berbagai program pemerintah) dan perguruan tinggi agar bisa menjawab tuntutan spesifik industri;
  • Memantau perkembangan teknologi di negara-negara termaju di dunia.
Dengan mempelajari dan menerapkan praktik terbaik yang ada di seluruh dunia, pemerintah dapat mengharapkan bahwa lembaga riset akan mampu mencapai prestasi yang spesifik, termasuk membuka jalan bagi perguruan tinggi untuk terlibat lebih dalam dunia nyata. Namun, untuk mencapai tujuan ini, lembaga riset perlu mendapatkan pembinaan berkualitas dari pemerintah dalam bentuk peraturan, pendanaan, serta penetapan target jangka pendek dan panjang yang jelas [8].

Semoga sekarang pembaca sudah dapat menangkap perbedaan antara perguruan tinggi dan lembaga riset, sehingga memahami mengapa pemerintahan di dunia mendirikan keduanya meskipun dalam aktivitas serupa.


Catatan:

[1] Lihat misalnya Kesowo (2021) dan Wiratman (2022)

Kesowo, B. (2021, Juni 04). BRIN, Sebuah Sisi Pandang. Kompas. https://www.kompas.id/baca/opini/2021/06/04/brin-sebuah-sisi-pandang/

Wiratraman, H. P. (2022, Januari 19). Independensi Lembaga Riset . Kompas. https://www.kompas.id/baca/opini/2022/01/18/independensi-lembaga-riset

[2] Cukup banyak diskusi ilmiah yang bisa menjabarkan alasan mengapa moralitas pemerintahan akan cenderung tidak bisa menerima adanya duplikasi penugasan lembaga yang aktivitasnya serupa. Lihat misalnya  dalam Landau (1969). Landau, M. (1969). Redundancy, Rationality, and the Problem of Duplication and Overlap. Public Administration Review, 29(4). https://doi.org/https://doi.org/10.2307/973247

[3] Ada cukup banyak referensi mengenai sejarah perguruan tinggi (universitas), misalnya Moore (2018). Moore, J. C. (2018). A Brief History of Universities. Palgrave Pivot Cham. https://doi.org/10.1007/978-3-030-01319-6

[4] Lihat sumber-sumber di situs MIT dan Caltech:

Caltech Gets Its Start in Old Town Pasadena. Caltech. (n.d.). https://www.caltech.edu/map/landmark_ajax/563/history/details

MIT Facts: MIT History. MIT Facts | MIT History. (n.d.). https://libraries.mit.edu/mithistory/mit-facts/

[5] Lihat Mowery dan Sampat (2006). Mowery, David C., and Bhaven N. Sampat, ' Universities in National Innovation Systems', in Jan Fagerberg, and David C. Mowery (eds), The Oxford Handbook of Innovation (2006), https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199286805.003.0008.

[6] Lihat Suzuki dkk (2015). Suzuki, J., Tsukada, N., & Goto, A. (2015). Role of Public Research Institutes in Japan’s National Innovation System: Case Study of AIST, RIKEN and JAXA. Science, Technology and Society, 20(2). https://doi.org/https://doi.org/10.1177/09717218155797

[7] Lihat Edquist (2006). Edquist, Charles, ' Systems of Innovation: Perspectives and Challenges', in Jan Fagerberg, and David C. Mowery (eds), The Oxford Handbook of Innovation (2006), https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199286805.003.0007.

[8] Lihat Intarakumnerd dan Goto (2018). Intarakumnerd, P., & Goto, A. (2018). Role of public research institutes in national innovation systems in industrialized countries: The cases of Fraunhofer, NIST, CSIRO, AIST, and ITRI. Research Policy, 47(7), 1309–1320. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.respol.2018.04.011

03 November 2023

Agar Kebijakan Hilirisasi Berhasil



Konsep kunci. Tulisan ini menekankan pentingnya fungsi analis untuk mendukung program hilirisasi sumber daya alam. Dalam tugas membangun rekomendasi kebijakan bidang iptek dan inovasi, para analis perlu melakukan perbandingan sektoral dengan negara maju. Satu sektor bisa kita anggap memiliki basis pengetahuan sama di seluruh dunia sehingga performa negara maju di bidang tersebut dapat merefleksikan apa yang pemerintah Indonesia perlu lakukan di sektor yang sama.


Baru-baru ini media memberitakan pemerintah berharap kabinet berikutnya bisa melanjutkan program hilirisasi sumber daya alam (SDA). Bila kita sarikan apa yang media beritakan, hilirisasi adalah proses meningkatkan nilai tambah komoditas yang dihasilkan suatu negara, terutama pada sektor pertambangan [1].

Namun, konsep hilirisasi yang beredar di masyarakat masih terbatas pada pengertian tradisional, yaitu mengolah bahan mentah menjadi produk setengah jadi atau jadi. Padahal, bila kita tilik literatur, para ahli analis kebijakan iptek dan inovasi global mengartikan hilirisasi (downstream) secara lebih luas, yaitu kegiatan litbang terapan, riset pengembangan produk, atau penelitian tingkat pasar [2].

Di kacamata kebijakan iptek dan inovasi global, semua sektor bisa menjadi hilir dan satu bidang dapat jadi muara bagi bidang lainnya. Misalnya, industri pertambangan untuk kesinambungannya perlu menarik dukungan inovasi dari sektor-sektor lain, seperti industri pembuatan kapal laut, teknik mesin, instrumentasi elektronika (lihat gambar di bawah) [3].



Klik gambar untuk memperbesar.

Bila melihat konseptualisasi di atas (Smith, 2006), seperti pada bidang manufaktur tradisional, pertanian, konstruksi perumahan, industri pertambangan yang kuat membutuhkan dukungan dari industri-industri pendukungnya.  Oleh karena itu, para analis perlu menyelidiki dugaan apakah masalah sejati bidang pertambangan bukan berada di sektor itu sendiri, tapi ada di area-area pendukungnya, seperti industri pembuatan kapal laut (shipbuilding), teknik mesin, dan instrumentasi elektronika. Bila itu benar, untuk memperbaiki sektor pertambangan, maka konsekuensinya, pemerintah bisa mendorong sektor pertambangan jadi bidang yang menciptakan permintaan (demand) inovasi dari sektor-sektor pendukungnya.


Bila tidak teliti, perbedaan pengertian hilirisasi yang populer dan kaum ahli pahami ini dapat menjadi jebakan bagi para analis kebijakan. Lantas, bagaimana para analis dan pengambil keputusan sebaiknya menyikapi isu hilirisasi?

Permintaan Sektoral

Semua warga Indonesia ingin negaranya sukses dalam hilirisasi SDA. Untuk itu, para analis dan pengambil keputusan perlu berani membandingkan sektor pertambangan Indonesia dengan negara-negara lain, terutama yang memiliki reputasi berkamampuan teknologi tinggi.

Komparasi ini penting bukan karena tujuan membuat berita hiperbolis. Tujuannya adalah menghasilkan rekomendasi empiris untuk kebijakan yang dapat meningkatkan kapabilitas teknologi sektor pertambangan Indonesia.



Operasi pertambangan di Indonesia (kiri), Amerika Serikat (AS) (tengah), dan China (kanan), serta negara lain punya basis pengetahuan sama. Dari prinsip kesamaan pengetahuan itu, para analis bisa membandingkan kondisi inovasi pertambangan di ketiga negara.

 Foto:
Harahap (2014, Creative Commons)USDA (2019, Creative Commons), Lawford (2005, Creative Commons).


Pada prinsipnya, hukum sains yang mempengaruhi segala invensi teknologi akan berlaku sama di manapun di alam semesta. Dalam perspektif analisis kebijakan, perbedaan nilai invensi bukan dari faktor alamiah, melainkan sosial, yaitu dari bagaimana industri setempat melindungi invensi mereka dari tiruan pesaing.

Para pengusaha adalah yang punya peran penting menciptakan dinamika dalam memanfaatkan kesempatan teknologis. Beberapa pengusaha menghancurkan pola bisnis lama (fenomena yang biasa disebut "Schumpeter Mark I"), sementara lainnya mengakumulasikan pengetahuan mendominasi pasar ("Schumpeter Mark II") [4].

Di tataran sektor, faktor pembeda antar bidang adalah sumber inovasi dan mekanisme penyesuaiannya (appropriability) oleh industri. Di antara sektor industri, pengelompokan yang biasa berlaku jadi patokan awal analisis adalah sebagai berikut [4][5]:

  1. Sektor yang memerlukan dukungan eksternal (misalnya sektor manufaktur tradisional, pertanian, konstruksi perumahan);
  2. Sektor yang menekankan faktor besarnya skala. Bidang ini menekankan inovasi proses. Sumber inovasinya sendiri berasal dari dalam (litbang khusus dan atau dari pengalaman rutin) maupun pihak eksternal (seperti para penyedia peralatan). Contoh sektor skala ini adalah industri otomotif dan baja;
  3. Sektor pemasok khusus (misalnya produsen peralatan), yang memfokuskan inovasinya pada peningkatan kinerja, keandalan, dan penyesuaian khusus. Sumber inovasi berasal dari pihak internal (misalnya pengalaman para teknisi) dan eksternal (interaksi dengan konsumen). Contoh sektor ini adalah industri peralatan konstruksi dan pertambangan, serta instrumentasi;
  4. Sektor berbasis ilmu pengetahuan. Karakter sektor ini ada pada tingginya tingkat inovasi produk dan proses, melalui litbang internal, maupun kerjasama riset bersama perguruan tinggi dan lembaga riset publik. Sumber inovasi mereka adalah perkembangan ilmu pengetahuan dengan cara penyesuaian antara lain melalui paten, upaya riset yang lebih cepat, dan perlindungan rahasia perusahaan. Contoh sektor ini adalah misalnya farmasi dan elektronik.

Berdasarkan konsep pengelompokan di atas, kita patut asumsikan industri di sektor pertambangan Indonesia perlu fokus pada dua hal utama untuk berinovasi: tenaga kerja terampil dan kerja sama antar industri (business-to-business). Kedua hal ini merupakan sumber inovasi yang paling potensial untuk mengangkat inovasi di sektor pertambangan, prioritasnya ada di atas aktivitas litbang.

Lebih lanjut, karakter suatu sektor inovasi di satu negara dapat kita katakan punya satu kesamaan dengan sektor serupa di negara lain terutama karena basis pengetahuan keduanya adalah sama [6]. Dari titik masuk kesamaan pengetahuan itulah analisis perbandingan bisa berlangsung.

Dari analisis satu sektor sama namun dengan negara-negara berbeda, para analis bisa menghasilkan berbagai kesimpulan rekomendasi tentang bagaimana mendorong permintaan (demand) akan inovasi dalam sektor pertambangan di Indonesia. Ini karena di suatu sektor ada interaksi permintaan-penyedia (supply) antar industri.

Kebijakan permintaan terhadap inovasi akan memberikan sinyal prospek lebih kuat bagi industri di suatu sektor dibanding kebijakan penyediaan. Sebaliknya, bila suatu pemerintahan menyediakan kesempatan iptek dan inovasi terlalu banyak (crowding out) — misalnya menyelenggarakan riset tanpa memperhatikan kebutuhan industri — maka dampaknya secara logis dapat menjadi kontraproduktif karena justru akan meningkatkan impresi bahwa litbang bukan urusan industri [7].

Analisis Berdampak

Analisis kebijakan di bidang iptek dan inovasi memiliki tujuan utama untuk menggalakkan inovasi iptek agar memberikan dampak sosial dan ekonomi yang positif. Di dalam praktiknya, para analis kebijakan tidak memiliki kebebasan mutlak dalam menentukan arah kerja mereka, melainkan harus mempertimbangkan berbagai batasan pada aspek hukum, anggaran, regulasi, target lembaga, panduan dari atasan, serta memperhatikan perubahan tren politik dan masukan dari kolega sejawat.

Seiring dengan meningkatnya karir, seorang analis kebijakan akan menerima kesempatan lebih besar mempengaruhi perjalanan agenda kebijakan. Kesempatan ini seringkali muncul saat mereka menerima  tugas untuk mengevaluasi program kebijakan yang berlangsung secara rutin pada akhir setiap tahun anggaran.

Karena kerangka kerja seorang analisis menyangkut hal nonteknis bahkan politis, keberhasilan dalam menyusun rekomendasi kebijakan tidak hanya bergantung pada data yang ia sajikan [8]. Di sinilah kombinasi integritas etika dan wawasan luas menjadi sangat penting bagi seorang analis kebijakan, agar rekomendasi yang ia ajukan benar-benar memberikan manfaat positif bagi masyarakat.

Sebagai contoh praktik di Indonesia, kita dapat mengacu pada berita mengenai lembaga pemerintah di bidang energi dan mineral yang beberapa tahun lalu berhasil mengajukan beberapa paten sebagai hasil litbang. Namun, jika kita membandingkannya dengan prestasi lembaga riset sektor pertambangan di berbagai negara maju secara teknologi (Fernandez, 2021), jumlah paten tersebut tampak terlalu kecil karena jauh di bawah capaian lembaga riset sektor pertambangan di negara-negara yang maju dalam teknologi.

Bila pencapaian lembaga tersebut sesuai arah kebijakan sebelumya, maka analisisnya terlalu lemah. Oleh karena itu, wajarlah bila kemampuan inovasi dan teknologi hilirisasi mineral hingga saat ini masih bergantung pada teknologi impor karena memang preskripsi kebijakannya lemah. 

Apabila tidak ada perbaikan kualitas rekomendasi para analis kebijakan, sektor binaan lembaga tersebut akan statis kondisinya.

Di masa depan, para analis kebijakan perlu mempeluas wawasannya dengan menjalankan studi perbandingan kondisi negara-negara kuat di sektor setaraf. Perkaya substansi, agar preskripsi kuat.

Tanpa wawasan yang memadai, kerajinan seorang analis pun jadi minim arti. Rekomendasi yang analis miskin wawasan berikan berpotensi membuat pengambil keputusan tergelincir pada jalur yang tidak tepat, dan masyarakatlah yang menanggung mudarat.

Demikianlah analis yang terampil adalah kunci kebijakan yang berhasil.



Catatan:

[1] Lihat CNN Indonesia (2023), Tempo (2023), 

CNN Indonesia. (2023, Februari 21). Marak Digaungkan Jokowi, Apa Itu Hilirisasi? https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20230221100544-85-915697/marak-digaungkan-jokowi-apa-itu-hilirisasi

Tempo. (2023, Juli 11). Arti Hilirisasi Dan Fungsinya. https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/483154/arti-hilirisasi-dan-fungsinya

[2] Lihat buku Oxford Handbook of Innovation yang merupakan bahan referensi dasar studi kebijakan iptek dan inovasi. Fagerberg, Jan, and David C. Mowery (eds), The Oxford Handbook of Innovation (2006), https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199286805.001.0001.

[3] Lihat Smith (2006). Smith, Keith, ' Measuring Innovation', in Jan Fagerberg, and David C. Mowery (eds), The Oxford Handbook of Innovation (2006), https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199286805.003.0006.

[4] Lihat Malerba (2006). Malerba, Franco, ' Sectoral Systems: How and Why Innovation Differs across Sectors', in Jan Fagerberg, and David C. Mowery (eds), The Oxford Handbook of Innovation (2006), https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199286805.003.00143.

[5] Lihat Pavitt (1984). Pavitt, K. (1984). "Sectoral patterns of technical change: towards a taxonomy and a theory". Research Policy. 13 (6): 343–373. https://doi.org/10.1016/0048-7333(84)90018-0.

[6] Lihat bahan-bahan dari Prof. Franco Malerba antara lain Malerba (2002), tokoh yang banyak berkontribusi memperkenalkan konsep sistem inovasi sektoral. Malerba, F. (2002). Sectoral systems of innovation and production. Research Policy, 31(2). https://doi.org/https://doi.org/10.1016/S0048-7333(01)00139-1

[7] Lihat diskusi terkait misalnya dalam Guellec dan van Pottelsberghe de la Potterie (2000). Guellec, D., & van Pottelsberghe  de la Potterie, B. (n.d.). The Impact of Public R&D  Expenditure on Business  R&D. https://dx.doi.org/10.1787/670385851815

[8] Lihat diskusi tentang kontradiksi ini misalnya di Mankiw (2017, p. 28). Mankiw, N. G. (2017). Principles of microeconomics (7th ed.). CENGAGE Learning Custom Publishing.

27 Oktober 2023

Penyuluhan Iptek dan Inovasi: Solusi Atasi Kemiskinan


Konsep kunci. Memotivasi UKM berinvestasi teknologi  dapat memberikan kontribusi bagi upaya menurunkan angka kemiskinan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Salah satu model institusi promosi investasi teknologi di UKM yang dapat diadaptasi adalah kohsetsushi. Berakar pada fungsi penyuluhan, lembaga di Jepang yang  memberikan dukungan teknis, pelatihan, dan kolaborasi kepada UKM. Dengan dukungan layanan terdefinisi jelas, pemerintah dapat secara berkesinambungan memotivasi UK'M mengikuti perkembangan iptek.


Kebijakan iptek dan inovasi terbukti bisa jadi harapan sumber solusi bagi berbagai masalah kolosal, seperti pemanasan global, kemerosotan kualitas lingkungan hidup, dan kemunculan pandemi. Namun, apakah kebijakan iptek dan inovasi juga dapat berperan dalam memerangi kemiskinan di negeri sendiri?

Kemiskinan sendiri memiliki banyak dimensi penyebabnya, salah satunya adalah pangkal besarnya adalah faktor rendahnya investasi. Faktor kunci investasi berhubungan dengan tingkat pendidikan yang rendah, buruknya kualitas layanan kesehatan publik, infrastruktur yang tidak memadai, lemahnya sistem hukum, korupsi, dan warisan budaya pemerintahan kolonial yang justru merendahkan martabat masyarakat setempat [1].

Pemerintah negara berkembang dapat berperan dalam mendorong investasi teknologi melalui penyuluhan iptek dan inovasi. Jepang memiliki salah satu model institusi yang menolong usaha kecil menengah (UKM) meningkatkan investasi teknologinya.

Lembaga tersebut dikenal dengan sebutan kohsetsushi. Pendekatan kohsetsushi yang awalnya adalah aktor penyuluh teknologi sudah lama masyarakat Indonesia kenal di sektor pertanian sehingga layak jadi bahan pelajaran kita.

Kurangi Risiko

Para pelaku usaha di negara berkembang, menghadapi hambatan lebih besar dalam berinvestasi teknologi. Kendala-kendala seperti keterbatasan permodalan, ketidakpastian usaha, jaringan kerja yang masih kecil, serta kurangnya pemahaman tentang regulasi dalam domain penelitian dan pengembangan (litbang) seringkali menjadikan mereka lebih enggan berinvestasi dalam teknologi.

Pada akhir abad ke-19, saat Jepang baru mulai membangun, pemerintah  mendirikan kohsetsushi sebagai layanan transfer teknologi di daerah. Dengan bidang layanan pertama-tama di sektor pertanian dan kemudian meluas ke sektor manufaktur, saat ini ada 67 kohsetsushi di kawasan-kawasan industri di seluruh daerah Jepang [2].

Kohsetsushi membantu industri lokal meningkatkan keterampilan teknis inti mereka melalui konsultasi teknis, pendidikan, dan pelatihan. Selain itu, kohsetsushi mendorong kolaborasi dan jaringan yang industri perlukan untuk membangun kapabilitas teknologi dalam jangka panjang, serta menyerap berbagai pengetahuan baru dari berbagai sumber [2].

Tanpa layanan kohsetsushi, UKM yang punya sumber daya lebih terbatas akan lebih sulit berinovasi mengikuti lajunya perkembangan iptek. Kohsetsushi aktif berkolaborasi dengan perguruan tinggi dan aktor litbang lain untuk melayani UKM dalam penelitian, mematenkan pengetahuan baru, dan lisensi paten [2].


(Atas) Gedung Tokyo Metropolitan Industrial Technology Research Institute (TIRI), unit kohsetsushi yang berada di daerah Tokyo.berada di daerah Tokyo.
Sumber: Hanaguri (2017, Creative Commons)
(Tengah) Peralatan dukungan litbang UKM untuk bidang pangan. Berbagai peralatan ini tentu terlalu mahal untuk UKM beli. 
(Bawah) Berbagai produk pangan hasil litbang TIRI yang menggunakan bahan baku asli dari wilayah Tokyo 
Sumber: Cuplikan layar (screenshot) halaman TIRI News (2023)



Proses kerja kohsetsushi yang gamblang dapat membantu pemerintah menerjemahkan konsep kebijakan iptek dan inovasi ke dalam tata kelola dan praktik penyelenggaraan yang berakar rumput dalam. Dari kohsetsushi, pemerintah bisa menghimpun bukti bagaimana mereka mendifusikan pengetahuan ke perekonomian daerah, termasuk  di bidang pertambangan [3].

Sebagai bahan evaluasi manajemennya, kohsetsushi menghimpun informasi faktor masukan (input) berupa tenaga ahli dan staf pendukung. Sebaliknya, faktor  keluaran (output) antara lain berupa jumlah kasus panduan dan pendukungan langsung di industri, unit analisis dan pengujian yang industri pergunakan, penyelenggaraan pelatihan, sampai ke kerjasama riset, serta jumlah satuan informasi yang industri manfaatkan [3].

Kohsetsushi juga dituntut mampu membangun kepercayaan dalam iptek dan inovasi di daerah yang merupakan faktor penting untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Ini karena kohsetsushi menarik badan publik dan organisasi koperasi  setempat untuk memberikan pinjaman, jaminan kredit, dan program penyewaan peralatan untuk mendorong modernisasi usaha kecil dan menengah.

Menjaga Visi

Bagi para analis dan pengambil keputusan, tidak ada salahnya mengambil model kebijakan dari negara lain. Sebetulnya, kohsetsushi sendiri merupakan lembaga ikutan dari model penyuluhan teknologi Amerika Serikat (AS) yang telah menolong para petani mengadopsi teknik baru dan meningkatkan produktivitas sektor pertanian [4].

Dengan memiliki lembaga terpercaya sebagai pendukung wawasan perkembangan iptek, UKM di Jepang dapat lebih percaya diri menggunakan teknologi terbaru. Di suatu masa, bahkan taraf probabilitas UKM Jepang menggunakan peralatan komputasi adalah 150% lebih tinggi dibanding kelompok yang sama di AS [4].

Sama seperti di Indonesia, di Jepang, usaha kecil dan menengah menempati posisi penting . Di Jepang, 99,7% dari seluruh bisnis adalah usaha kecil dan menengah yang mempekerjakan 32 juta karyawan  (OECD, 2022). Sementara itu, di Indonesia, jumlah usaha menengah, kecil, dan mikro adalah 99,99% dari total pelaku usaha nasional yang dapat menyerap 117 juta pekerja, atau 97% daya serap tenaga kerja di dunia usaha (Nainggolan, 2020).

Para analis dan pengambil keputusan perlu menyadari, bahkan di negara maju sekalipun, ada sektor-sektor industri yang secara alamiah perlu dukungan eksternal untuk bisa berinovasi [5]. Artinya, tanpa intervensi pemerintah, beberapa sektor industri akan selamanya tertinggal dalam hal meningkatkan produktivitas dan daya saingnya [5].

UKM di bidang-bidang manufaktur tradisional, pertanian, konstruksi perumahan, bisa kita proyeksikan sebagai contoh sektor-sektor usaha yang selamanya butuh dukungan eksternal abadi agar sanggup menyerap informasi perkembangan iptek [5]. Masalahnya, hasil inovasi sektor-sektor ini bukan saja penting bagi konsumen biasa, tapi juga untuk industri-industri bidang lain yang mempergunakan hasil kerja mereka [5].

Bisa kita katakan, kemajuan UKM tradisional pun akan menentukan prestasi sektor-sektor ekonomi secara keseluruhan karena mereka sesungguhnya bagian integral dari ekosistem inovasi di suatu daerah. Keunggulan UKM yang terbentuk dari berkembangnya wawasan teknologi hasil panduan pemerintah akan memberikan dampak selaras pada membaiknya tingkat kemakmuran masyarakat pada umumnya. 

Agar bisa menyebarluaskan informasi secara efektif, pemerintah perlu terjun langsung ke suatu wilayah. Ini karena industri di suatu daerah akan memiliki sisi halus (tacit) berupa kebiasaan teknis maupun latar budaya yang tidak hanya unik dan kompleks, namun juga mempengaruhi cara mereka mempercayai satu hal baru.

Akhirnya, perlu kita sadari bahwa kebijakan promosi teknologi ini bisa terdistorsi secara langsung atau laten oleh berbagai agenda politis yang dapat menggeser tujuan asli membantu UKM. Untuk itu, perancangan kebijakan ini perlu mengambil parameter-parameter evaluasi berorientasi layanan industri. Sebagai contoh:
  • Membantu UKM menghasilkan produk baru dan/atau masuk ke bisnis baru
Pertanyaan evaluasi: Berapa jumlah seminar dan layanan konsultasi pembuatan produk baru yang telah terselenggara dalam satu tahun? Faktor teknologis apa saja yang kerap menjadi sumber kegagalan UKM di suatu kawasan membidani kelahiran produk baru? Adakah mesin yang sekelompok UKM di satu sektor butuhkan namun terlalu mahal bagi mereka beli?
  • Mempromosikan kerja sama teknis dengan memanfaatkan fasilitas pengujian dan penelitian serta pemanfaatan pengetahuan
Pertanyaan evaluasi: Berapa jumlah pengujian bahan untuk kepentingan UKM yang sudah dilaksanakan? Moda komunikasi apa saja yang bisa dipergunakan dalam berkomunikasi dengan UKM? Adakah cara meningkatkan efesiensi dalam berinteraksi dengan UKM? 

  • Mendorong UKM memanfaatkan hasil litbang

Pertanyaan evaluasi: Topik apa saja yang menjadi minat bersama sekelompok UKM? Sejalan dengan minat-minat tersebut, adakah penelitian di berbagai perguruan tinggi yang bisa dikembangkan ke tingkat terapan di UKM? Adakah sumber-sumber pendanaan riset terapan yang bisai dimanfaatkan?

  • Diseminasi hasil penelitian dan promosi transfer teknologi 

Pertanyaan evaluasi: Dalam satu tahun, berapa banyak perguruan tinggi yang sudah mengundang UKM memanfaatkan hasil risetnya? Adakah topik-topik pelatihan yang perlu UKM terima agar siap menjalani transfer teknologi dalam kasus tertentu? Apakah UKM perlu mendapat dorongan agar bisa mempromosikan produk baru yang sudah mereka kembangkan?
 
Daftar pertanyaan di atas penulis kumpulkan dari bahan evaluasi tahunan TIRI (TIRI, 2010), badan penyuluhan iptek dan inovasi di dearah Tokyo yang kini sudah berjalan lebih dari 100 tahun.

Demikianlah para analis dan pengambil keputusan perlu memelihara visi hingga pembangunan dapat berjalan hingga ratusan tahun kedepan dan tidak terhenti oleh kepentingan sekejap mata.

Sekiranya Indonesia ingin belajar lebih detil tentang kohsetsushi, tentu pemerintah kita dan perwakilannya di Tokyo bisa langsung ke pemerintah Jepang. Sebagai negara sahabat, tentu itu bukan perkara sulit.


Catatan:

[1] Lihat Mankiw (2021). Mankiw, N. G. (2021). Brief Principles of Macroeconomics: a Guided Tour. Cengage Learning, Inc.

[2] Lihat Fukugawa (2022). Fukugawa, N. (2022). Effects of incorporating public innovation intermediaries on technology transfer performance: evidence from patent licensing of Japan’s Kohsetsushi. Heliyon, 8(10). https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2022.e11139

[3] Lihat Shapira (1990, p. 44). Shapira, P. (1990). Modernizing Manufacturing: New Policies to Build Industrial Extension Services. Economic Policy Institute.

[4] Lihat Shapira (1992). Shapira, P. (1992). Lessons from Japan: Helping Small Manufacturers. Issues in Science and Technology, 8(3).

[5] Lihat Pavitt (1984). Pavitt, K. (1984). "Sectoral patterns of technical change: towards a taxonomy and a theory". Research Policy. 13 (6): 343–373. doi:10.1016/0048-7333(84)90018-0


19 September 2023

Amerika, China, Rusia, Mana untuk Indonesia?

Kita saat ini berada dalam era yang menantang namun penuh dengan potensi. Pada masa lalu, mungkin kita beranggapan bahwa dalam era globalisasi, nilai pentingnya kelokalan dalam mencapai keunggulan kompetitif telah berkurang. Globalisasi sendiri merupakan hasil dari kemajuan teknologi yang luar biasa. Perkembangan pesat dalam sistem komunikasi dan transportasi telah membuka pintu lebar pasar bagi seluruh masyarakat untuk menikmati berbagai barang dan layanan dari seluruh dunia. Meskipun di Indonesia kita mungkin tidak memproduksi semua teknologi itu sendiri, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat diakses melalui pasar internasional jelas memberikan kepuasan tersendiri sebagai konsumen.

Namun, situasinya sekarang berubah dengan cepat. Meskipun globalisasi terus berlanjut berkat perkembangan teknologi yang masih berjalan, kita juga dihadapkan pada tantangan baru. Konflik geopolitik seperti yang terjadi antara Rusia dan Ukraina telah memengaruhi perekonomian global dan meningkatkan ketegangan persaingan strategis antara Amerika Serikat dan China. Dampaknya, fragmentasi politik global semakin nyata, bahkan peperangan di Pasifik bisa meletus, dan itu semua mengubah dinamika perekonomian di seluruh dunia saat ini.

Kenyataannya, bahkan sebelum guncangan global yang baru-baru ini terjadi, perkembangan ekonomi sebetulnya selalu terkait erat dengan batasan-batasan tertentu. Contoh yang nyata terlihat di kawasan ASEAN, di mana Singapura menonjol sebagai satu-satunya negara dengan pendapatan tinggi. Meskipun Singapura secara geografis berdekatan dengan Indonesia, hubungan kuat antara perguruan tinggi, industri, dan pemerintah di sana tidak lantas memberikan manfaat bagi kemajuan inovasi di Indonesia. Bagi Indonesia atau negara berkembang manapun, globalisasi tidak pernah menjamin lahirnya kemandiran teknologi. Dampak kebijakan inovasi selalu cenderung terbatas pada tingkat keahlian pengembang kebijakan tampilkan di masing-masing wilayah.
 
Penting untuk diingat bahwa dalam menghadapi kompleksitas masalah yang dihadapi oleh masyarakat, terutama dalam konteks iptek dan inovasi, kolaborasi adalah kunci. Sejarah menunjukkan bahwa kolaborasi, baik di tataran antara negara maupun lembaga di dalam negeri, merupakan landasan kemajuan teknologi dalam era modern. China, sebagai contoh, telah menerapkan strategi cerdik melibatkan kolaborasi dengan mitra dagang asing untuk mengakses pengetahuan iptek yang sangat penting sebelum akhirnya menjadi salah satu pemimpin global teknologi. Dalam hal ini, China hanya mengikuti jejak menciptakan kemajuan yang Jepang, Korsel, dan Singapura sudah lakukan.

Dari perspektif para analis kebijakan iptek dan inovasi, kami memiliki kemampuan untuk memahami dan mengatasi kompleksitas masalah yang terkait dengan pengembangan iptek dan inovasi. Namun, satu hal yang harus diingat adalah bahwa prasyarat utama dalam membentuk kebijakan iptek dan inovasi yang kuat adalah memiliki pemahaman global yang memadai. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa dalam dunia yang semakin terhubung ini, tidak ada satu negara pun yang mampu memonopoli seluruh perkembangan pengetahuan secara eksklusif. Tidak peduli seberapa besar negara tersebut, baik itu Amerika Serikat atau China, atau negara mana pun di dunia (lihat grafik "10 Besar Negara Produsen Publikasi Ilmiah Internasional dan Indonesia (2020 - 2022, Data Scopus)" di bawah.
 



Klik grafik untuk memperbesar.

Jadi jelaslah, saat ini kita berada dalam era yang menuntut pemerintahan iptek Indonesia untuk menunjukkan punya kemampuan lebih membaca dinamika dan kepentingan bangsa lain. Kenyataan tantangan geopolitik global saat ini harus bisa pemerintah ubah menjadi berbagai kesempatan yang membuka jalan untuk mengembangkan iptek. Keberhasilan dalam hal ini akan memengaruhi kesuksesan misalnya dalam kepentingan menarik perhatian para ahli asing yang memiliki pengetahuan yang sangat berharga bagi sektor industri Indonesia, menciptakan keterkaitan lebih erat antara riset dan industri, memperluas kolaborasi dalam dunia pendidikan tinggi, dan menarik investasi asing dalam penelitian dan pengembangan. Poin terakhir ini dapat memperkuat profil serta pendapatan para ilmuwan dan pengembang teknologi di Indonesia tanpa harus beremigrasi ke luar negeri, yang menciptakan dampak  talenta mengering (brain drain) di tanah air. Dengan begitu, kita dapat bersama-sama memanfaatkan potensi iptek dan inovasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bangsa Indonesia.


Di beberapa posting kedepan, saya akan mencoba berkontribusi pada kepentingan tersebut.


(In memory of my sister, Kakak Dian Manginta, who had her birthday today)


Mimpi Caleg

Mimpi para caleg tercermin jelas di jalanan, di mana poster-poster mereka berderet bergantungan. Banyak wajah baru politisi menyibak, entah ...