Informasi Lain tentang Saya

06 Oktober 2023

Mengukur Kesuksesan Kebijakan Transfer Teknologi


Konsep kunci. Melihat praktik berhasil dari Asia Timur, transfer teknologi adalah bagian dari kebijakan industri. Untuk memperlihatkan pertangungjawabannya, para  analis dan pengambil keputusan perlu memperllihatkan manifestasi implentasi kebijakan transfer teknologi di sektor industri yang akan menampilkan bukti riil dan terukur. Para aparatur yang terllibat  perlu menunjukkan kepastian kebijakan bahwa hasil transfer teknologi mengakibatkan adanya kapabilitas baru industri untuk meningkatkan dan mengadaptasi teknologi yang mereka dapatkan dari aktor lain. Di sini, kontribusi peran badan penelitian dan pengembangan (litbang) menjadi semakin penting untuk selaras dengan kemajuan industri.

Media tanah air sering menggambarkan transfer teknologi sebagai bagian kebijakan membuka peluang pekerja Indonesia belajar dari tenaga kerja negara lain atau impor barang publik yang canggih. Namun, bagaimana sebetulnya transfer teknologi dalam perspektif kebijakan iptek dan inovasi?

Istilah transfer teknologi kerap muncul pada konteks hubungan Indonesia dengan negara lain. Menariknya, jika kita mencermati sejarahnya, negara-negara yang saat ini bertaraf ekonomi maju seperti Jepang dan Korea Selatan (Korsel), mereka pun pernah harus mengandalkan transfer teknologi dari negara-negara lain.


Contoh Asia Timur

Contoh pertama dari Asia Timur adalah Jepang. Tanpa upaya transfer teknologi dari luar negeri, Jepang yang awalnya terbelakang akan sulit untuk mengejar ketertinggalan.

Terdesak oleh kepentingan keamanan negara, pada 1893, Jepang membangun prototipe lokomotif sendiri dengan bantuan instruktur Inggris dan komponen impor. Beberapa industri swasta kemudian pemerintah ajak untuk mempelajari teknologi buatan lokal itu hingga mereka pun masuk ke sektor manufaktur kereta api [1].



Model lokomotif hasil transfer teknologi dari instruktur Inggris yang jadi prototipe pembelajaran hingga membantu lahirnya industri-industri baru manufaktur perkeretaapian Jepang (
Ericson, 1998). Foto: 日本国有鉄道工作局 (1952, Wikimedia, Domain Publik)

Pola kerja menempatkan peran pemerintah secara strategis sebagai pendifusi pengetahuan baru di antara para anggota ekosistem pada satu sektor industri ini sampai sekarang terlihat pada Railway Technical Research Institute (RTRI), badan riset perkeretaapian milik negara [2]. Dengan nahkoda kepemimpinan ekosistem yang RTRI pegang, seluruh anggota rantai industri di sektor perkeretaapian Jepang bisa menurunkan risiko kegagalan riset di bidangnya sehingga bersama-sama mereka bisa menjaga daya kompetisi nasional.

Di masa hampir bersamaan dengan momen munculnya industri pereketaapian, pada 1899, raksasa elektronik dan telekomunikasi terkemuka Jepang, Nippon Electric Corp (NEC) terbentuk sebagai perusahaan patungan pertama di Jepang dalam kemitraan dengan Western Electric Co. milik AT&T yang berasal dari Amerika Serikat [3]. Salah satu pendiri AT&T adalah Alexander Graham Bell, penemu teknologi telepon.

Bukan hanya NEC, OKI Electric berdiri pada 1912 melalui perjanjian transfer teknologi dengan General Electric Corporation (GEC) Inggris [2]. Kemudian, pada 1915, Fujitsu lahir dari aliansi antara Furukawa Electric Company dan Siemens, perusahaan unggulan nasional Jerman. Hitachi, Ltd., yang berdiri pada 1910, merupakan satu-satunya pemasok besar peralatan komunikasi di Jepang yang lahir tanpa bantuan asing [3]. 

Sepanjang 1885-1985, pemerintah membangun aliansi litbang dengan keempat perusahaan swasta tadi. Mereka juga menjadi penyuplai teknologi sebuah BUMN nasional, Nippon Telephone and Telegraph (NTT) [3]. Jadi, biarpun NTT kala itu merupakan perusahaan monopoli yang secara teori sulit beroperasi secara efesien, pemerintah tetap bisa menciptakan efek efisiensi dinamis (
dynamic efficiency) atas NTT lewat strategi investasi litbang ke para penyedia teknologinya.

Seperti di Jepang, pemerintah Korsel juga mulai menjalankan kebijakan transfer teknologi saat negara tersebut belum memiliki teknologi matang yang industri mereka butuhkan untuk beroperasi. Bedanya, ada di orientasi ekspor.

Sedari awal, pemerintah Korsel tancap gas mendorong orientasi ekspor lewat jalan menopang investasi yang menggelembungkan kapasitas sektor produksi sampai melewati daya serap lokal hingga mereka terpaksa harus berorientasi ekspor. Akibatnya, industri Korsel terdorong menggali berbagai cara pendekatan ke para produsen asing untuk memaksimalkan pembelajaran teknologi impor hingga bisa meningkatkan daya kompetisinya [4].

Di fase awal ini, karena memiliki sumber daya manusia (SDM) berpengalaman dominan hanya di komunitas akademia yang cenderung memiliki minat di topik iptek tak seimbang dengan kemampuan lokal, badan litbang Korsel tidak langsung menghubungkan industri setempat ke penyedia teknologi di luar negeri. Sebaliknya, badan litbang menolong industri dalam peran sebagai konsultan dan pelaksana litbang, sehingga daya tawar mereka lebih kuat di mata produsen teknologi asing [4].

Selain dari wahana mendapatkan teknologi, industri Korsel juga aktif mencari tenaga kerja teknisi berpengalaman dari berbagai industri yang sudah eksis. Strategi ini menolong industri Korsel pada 1960 hingga 1970-an melesat cepat di sektor elektronik, kimia, pembuatan kapal, permesinan, dan tekstil [4].

Bisa kita katakan keberhasilan transfer teknoogi Korsel tidak langsung dari instrumen kebijakan iptek, melainkan dari keaktifan pemerintah menciptakan iklim kompetitif yang industri harus hadapi. Ragam kebijakan mendorong ekspor efektif mendorong para pengusaha membuat target-target nyata bersaing dengan industri asing yang lebih maju sehingga akhirnya melesatkan pembangunan perekonomian Korea.

Bukti di Industri

Pengalaman menjalankan kebijakan transfer teknologi sukses oleh dua negara Asia Timur yang kini telah berhasil menjadi makmur dapat memberikan pelajaran signifikan dalam kepentingan meningkatkan efisiensi sektor industri Indonesia untuk menghadapi perasaingan global yang semakin ketat. Indonesia harus berhati-hati agar industrinya tidak terjebak dan berhenti dalam suatu tingkat kemampuan tertentu, karena bahkan negara-negara yang lebih tertinggal pun dapat bersaing melawan kita dengan menggerakkan tenaga kerja berpendapatan rendah mereka.

Dari catatan berbagai insiden di atas, jelas nampak fenomena transfer teknologi Iebih mudah dipahami sebagai bagian upaya menghubungkan iptek sebagai bagian variabel produksi dan desain [5]. Artinya, dalam analisis kebijakan, dampak transfer teknologi harus kasat mata (tangible) hingga mudah divalidasi.

Oleh karena itu, penting bagi para analis dan pengambil keputusan di Indonesia untuk tidak hanya terpaku pada retorika simbolisasi kemajuan semu ketika menjelaskan ke publik manfaat dari berbagai program kebijakan transfer teknologi. Pilihlah kejujuran menjelaskan kenyataan di lapangan.

Lebih jauh, kita perlu menyadari bahwa negara-negara yang maju secara teknologi
 tidak memiliki banyak insentif altruistik untuk membantu Indonesia menerima transfer teknologi. Oleh karena itu, adalah tugas pemerintah Indonesia untuk menjelaskan secara transparan agar masyarakat paham bahwa segala pengerahan sumber daya publik dalam program transfer teknologi adalah bagian upaya memenuhi cita-cita memajukan bangsa sendiri.

Untuk meningkatkan kepercayaan dan partisipasi masyarakat, para analis kebijakan dan pengambil keputusan dapat mempergunakan variabel-variabel dampak di industri. Misalnya, seberapa jauh dampak kebijakan terhadap taraf profitabilitas unit-unit industri maupun bagi suatu sektor ekonomi atau kawasan pemerintahan? Bagaimanakah optimisme para praktisi melihat kedepan? Sejauh mana dukungan akademisi dan litbang pemerintah? [5].

Selain itu, bila para analis dan pengambil keputusan terpaksa berhadapan dengan perintah politis yang tak mungkin dilawan, mereka tak harus berbohong ke publik tentang "kemanjuran" suatu kebijakan transfer teknologi.

Dalam tekanan semacam ini, mereka bisa mengenakan kacamata 
neo-classical economics yang terbukti selalu relevan dengan tiap pergantian kekuasaan suatu bangsa [1]. Sebagai contoh, mereka bisa menjelaskan ke masyarakat bagaimana pemerintah mengambil peran yang terbatas namun berdampak luas bagi kepentingan publik, atau menginformasikan peran kontributif perguruan tinggi dan lembaga riset dalam suatu isu transfer teknologi ke industri.

Dengan menjabarkan keterkaitan pemangku kepentingan pada suatu program transfer teknologi, para analis dan pengambil kebijakan dapat menunjukkan ke publik bahwa pada kenyataannya rencana kerja tersebut bukan untuk sebuah kejayaan semusim. 

Memanipulasi fakta tak bakal membantu siapun, malah hanya melemahkan generasi masa depan.

Catatan:

[1] Lihat Ericson (1998). Ericson, S. J. (1998). Importing Locomotives in Meiji Japan: International Business and Technology Transfer in the Railroad Industry. Osiris, 13, 129–153. http://www.jstor.org/stable/301881

[2] Lihat 
Tezuka, K. (n.d.). 20 Years of Railway Technical Research Institute (RTRI). https://www.ejrcf.or.jp/jrtr/jrtr47/f09_Tez.html 

[3] Lihat Butcher dkk (1992). Butcher, A., McLennan, N., Baker, S., McDonough, S., & Sherman, T. A. (1992.). Global competitiveness of U.S. Advanced-Technology Manufacturing Industries. Google Books. https://www.google.co.id/books/edition/Global_Competitiveness_of_U_S_Advanced_t/_qe1AAAAIAAJ?hl=en&gbpv=0 

[4] Lihat Kim (1992). Kim, L., & Dahlman, C. J. (1992). Technology Policy for Industrialization: An Integrative Framework and Korea’s Experience, 21(5), 437–452. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/0048-7333(92)90004-N 

[5] Lihat Bozeman (2000). Bozeman, B. (n.d.). Technology Transfer and Public Policy: A Review of Research and Theory. Research Policy, 29, 627–655. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1016/S0048-7333(99)00093-1