Informasi Lain tentang Saya

13 Oktober 2023

lnstrumen Insentif Pajak Litbang: Solusi Memadai?


Konsep kunci. Suatu instrumen kebijakan iptek dan inovasi punya keistimewaan dapat berfungsi dalam berbagai isu masyarakat dan sektor pemerintahan.  Para pelaksananya harus mengevaluasi dan mengadvokasi agar relevan dengan lebih banyak isu.  Untuk meningkatkan keberhasilan, operator kebijakan insentif riset perlu mempertimbangkan instrumen halus (soft instruments) untuk menarik dukungan pemerintah sektoral.


Indonesia telah mengeluarkan PMK Nomor 153/PMK.010/2020 yang memberikan keringanan penghasilan bruto hingga 300% untuk biaya penelitian dan pengembangan (litbang) tertentu. Namun, apakah insentif ini cukup untuk mendorong investasi litbang di Indonesia?

Berdasarkan sejarah, insentif pajak riset yang pertama kali lahir di Amerika Serikat (AS) pada 1981 di tengah perang dagang mereka dengan Jepang, tidak langsung untuk mendorong industri menghasilkan produk baru. Kala itu, industri AS sudah menjadi pelaku dominan litbang nasional dan problem mereka adalah peraturan pajak yang ada tidak banyak menolong dalam memperhitungkan kegagalan atau keberhasilan litbang [1][2]. 

Arahan perundangan AS antara lain menolong mempercepat penyusutan aset litbang dan membantu perusahaan multinasional di sana untuk memenuhi ketentuan mengalokasikan sebagian litbang domestik terhadap pendapatan yang anak perusahaan hasiIkan di luar negeri [1]. Kemampuan teknologi yang tinggi akan memotivasi industri beroperasi secara global.

Kejadian ini menunjukkan bahwa insentif pajak riset bukanlah jenis instrumen yang tepat untuk mengatasi masalah umum sangat rendahnya minat industri berinvestasi litbang seperti Indonesia alami. Dengan reputasi punya daya kompetisi ekspor teknologi tinggi yang sangat rendah, kita bisa perkirakan hanya segelintir perusahaan di Indonesia yang aktif dalam riset hingga tak banyak industri swasta maupun BUMN yang punya kompetensi memanfaatkan insentif ini.

Secara prinsip, industri bukanlah jenis institusi yang harus melakukan litbang. Malah sesungguhnya adalah logis bagi seorang pengusaha untuk menghindar terlalu banyak berinvestasi di litbang karena misalnya adanya faktor keberadaan pemain lain yang sudah kuat [3].

Bila kita melihat model dari sejarah revolusi budaya inovasi di Asia Timur, yang perekonomian Indonesia lebih butuhkan adalah kampanye masif agar sebanyak-banyaknya industri mengetahui manajemen litbang dan aktif meningkatkan kandungan teknologi dalam bisnis hariannya. Setelah punya keyakinan lebih tinggi, niscaya industri akan memilih secara mandiri untuk lebih aktif berlitbang.

Karena itu, kita perlu bertanya mengenai dana publik yang sudah rutin mengalir bagi kegiatan litbang di perguruan tinggi dan lembaga riset. Dengan demikian, muncul pertanyaan kebijakan publik, mengapa pemerintahan iptek dan inovasi tidak mengoptimalkan dana riset publik, misalnya dengan memproduksi instrumen regulasi agar perguruan tinggi dan lembaga litbang lebih produktif menolong industri agar sanggup menerima transfer teknologi dari aktor asing sebagaimana kita perlukan?

Bagimanapun, dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas alternatif kebijakan selain insentif pajak. Saya akan membahas konsep pengelolaan instrumen kebijakan insentif pajak litbang bagi para analis kebijakan iptek dan inovasi supaya bisa mengoptimalkan instrumen ini.


Mengelola Instrumen

Di masa kini, tren dan peristiwa teknologi berperan vital dalam isu dan kepentingan sektor publik. Pemerintah yang aktif dalam iptek dan inovasi akan memiliki nama baik di mata investor teknologi.

Oleh karena itu, tentu kebijakan insentif pajak litbang tidak akan sia-sia bagi pembangunan Indonesia. Sesungguhnya, promosi investasi litbang akan meningkatkan kredibilitas dan kesinambungan sektor-sektor pembangunan secara keseluruhan. 

Namun, seperti pada jenis instrumen kebijakan inovasi lain, evaluasi dan advokasi perlu dilaksanakan untuk memastikan perangkat ini relevan dengan lebih banyak tipe isu kebijakan. Dengan demikian, ada peluang inovasi dapat lebih intensif terwujud dalam berbagai agenda pembangunan sektoral pemerintahan.

Di atas, penulis telah menunjukkan bahwa wawasan sejarah insentif litbang di AS akan membantu untuk memproyeksikan instrumen ini tidak efektif untuk mendorong inovasi di industri yang tidak punya sejarah aktif dalam riset. Dengan mengetahui detil seperti itu, para analis dan pengambil keputusan bisa menghindari narasi janji berlebihan (misalnya, menghasilkan "Elon Musk" versi Indonesia) tentang dampak instrumen kebijakan insentif ini kelak.

Walaupun dampaknya terbatas, para pengelola insentif perlu memperhitungkan agar semua sektor pemerintahan Indonesia dapat memanfaatkan insentif pajak litbang. Dari bidang pertahanan keamanan ke isu pemanasan global, pengelolaan sumber daya alam, sampai kesiapan Indonesia menghadapi pandemi berikutnya, dan lain sebagainya.

Meskipun target utama instrumen adalah korporasi, namun kebijakan insentif pajak litbang tidak boleh hanya menguntungkan industri. Kebijakan harus menghasilkan transformasi publik secara utuh.

Penting untuk diperhatikan, dalam mencari inspirasi studi evaluasi dari studi kasus luar negeri, para analis perlu memahami bahwa manifestasi pilihan instrumen kebijakan di antara beberapa negara bisa sangat berbeda meskipun tujuannya tampak sama (lihat grafik di bawah) [4]. Oleh karena itu, dalam studi perbandingan, para analis perlu menentukan agenda pemberdayaan publik yang instrumen bisa jalankan, problem teknologis apa yang hendak dipecahkan, dan bagaimana menguji keberhasilannya.



Klik gambar untuk memperbesar.
Contoh perbedaan hasil capaian kebijakan insentif litbang bagi sekor UKM di beberapa negara. Kondisi dan cara pandang berbagai pemerintahan dapat sangat berbeda meskipun pada konteks serupa hingga sulit menyimpul
kan begitu saja siapa yang prestasinya terbaik di sini.



Akhirnya, karena tingkat keberhasilan kebijakan iptek dan inovasi akan diukur dari keterlibatan pemerintah sektoral, maka para operator kebijakan insentif riset perlu mempertimbangkan melengkapinya dengan instrumen halus (soft instruments) untuk menarik dukungan bidang-bidang pemerintahan yang lebih luas. Instrumen tipe ini bersifat sukarela dan tidak memaksa, melainkan menawarkan rekomendasi, permohonan normatif, atau perjanjian sukarela. [4].

Tantangan kebijakan iptek dan inovasi Indonesia tidaklah kecil. Tiap pihak yang ingin berkontribusi mengatasinya perlu bergotong-royong dengan pihak lain untuk meninggalkan jejak memadai.

Catatan:

[1] Lihat Bozeman dan Link (1985). Bozeman, B., & Link, A. (1985). Public support for private R&D: The case of the research tax credit. Journal of Policy Analysis and Management, 4(3), 370–382. https://doi.org/https://doi.org/10.2307/3324191

[2] Lihat Federal Register (2013). Federal Register. (2013, September 6). Research Expenditures: A Proposed Rule by the Internal Revenue Service on 09/06/2013. https://www.federalregister.gov/documents/2013/09/06/2013-21737/research-expenditures

[3] Lihat Ahuja dan Noveli (2017). Ahuja, G., & Novelli, E. (2017). (Commentary) Activity Overinvestment: The Case of R&D. Journal of Management, 43(8), 2456–2468. https://doi.org/https://doi.org/10.1177/014920631769577

[4] Lihat Borrás dan Edquist (2013). Borrás, S., & Edquist, C. (2013). The choice of innovation policy instruments. Technological Forecasting & Social Change, 80(8), 1513–1522. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.techfore.2013.03.002