17 November 2023

Mempromosikan Inovasi di Daerah



Konsep kunci. Riset di negara berkembang sering terabaikan dalam agenda pembangunan karena memang memahami inovasi dalam kerangka ekonomi bukanlah hal mudah. Pemerintah negara berkembang dapat mengambil model praktik yang sudah pernah negara maju alami atau lakukan untuk memulai siklus kebijakan iptek dan inovasi. Mengikuti model fenomena dan kebijakan di negara maju, pemda di negara berkembang dapat berperan dalam menyelenggarakan  program promosi yang menjaring talenta di kalangan bawah di daerah. Pemda kemudian dapat mengumpulkan berbagai data yang relevan untuk keperluan evaluasi kebijakan dan dengan demikian lebih mudah memahami fungsi inovasi bagi kebijakan ekonomi. 



Inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) adalah kunci kemajuan suatu kawasan, namun pemerintah di negara-negara berkembang seringkali kurang memberikan prioritas pada inovasi. Hal ini terlihat dari data yang menunjukkan alokasi dana penelitian dan pengembangan (litbang) iptek di antara anggota ASEAN umumnya berada di bawah standar Asia Timur (lihat data Bank Dunia).

Salah satu faktor yang menyebabkan pemerintah negara berkembang cenderung kurang memberikan prioritas pada inovasi adalah karena tradisi ekonomi arus utama yang menganggap teknologi dan kemajuan industri sebagai proses alamiah tanpa peran pemerintah. Akibatnya, dalam studi dan pembangunan teori ekonomi, peran pemerintah sering terabaikan meskipun pada kerangka studi di mana posisi pemerintah lebih dominan [1].

Tidak banyak yang menyadari topik inovasi baru menjadi fokus perhatian di ilmu ekonomi pada sekitar awal 1970-an, seperti terlihat dari meningkatnya jumlah publikasi ilmiah tentang topik tersebut (lihat grafik). Oleh karena itu, wajar jika para pemikir ekonomi di ASEAN, yang umumnya baru merdeka setelah 1945, tidak dapat banyak membantu negaranya untuk mencapai prestasi inovasi yang signifikan.

Berbeda dengan ASEAN, Asia Timur memiliki referensi model Jepang yang dalam menjalankan rencana awal pembangunan industrinya menggunakan metode mengamati langsung praktik di negara-negara yang telah maju saat itu. Setelah berhasil mengikuti pola negara maju, Jepang pun dapat menjadi model bagi tetangga-tetangganya di kawasan Asia Timur dalam mengembangkan strategi kebijakan iptek dan inovasi yang efektif.



Klik gambar untuk memperbesar.

Persentase bahan yang menggunakan kata kunci "inovasi" terhadap seluruh publikasi ilmiah terpublikasi secara internasional dalam bidang ilmu ekonomi (data Scopus). 



Sebetulnya dari Schumpeter, ekonom yang terkenal banyak membahas inovasi, para ekonom justru belajar melihat bahwa inovasi sebagai kejadian acak yang tak terduga. Bahkan dalam teori ekonomi yang lebih modern, riset dan pengembangan digambarkan seperti undian dan suksesnya inovasi adalah hasil kebetulan semata [2]. 

Terjebak dalam teorisasi ini, pemahaman tentang pembiayaan inovasi terlantar hingga akhirnya muncul teori baru yang menyatakan upaya pembelajaran dinamis dalam sebuah perusahaan akan mempengaruhi taraf perembangannya [3]. Tidak hanya dalam alokasi sumber daya internal, tapi juga pemahaman bahwa unit bisnis yang kompetitif selalu aktif mencari pengetahuan dari hubungan dengan mitra pemasok, pelanggan, perguruan tinggi, dan pemerintah (lokal, regional, nasional, dan internasional), yang secara signifikan memengaruhi alokasi sumber daya perusahaan [3].

Pemodelan yang tersedia seolah menuntut negara-negara berkembang untuk terlebih dahulu memiliki sistem yang memadai sebelum dapat menghasilkan perekonomian yang inovatif. Negara-negara berkembang menghadapi hambatan untuk bisa lebih mempercayai iptek dan inovasi sehingga wajar akhirnya mereka cenderung mengalokasikan sumber daya bagi riset iptek dalam porsi lebih sedikit.

Demikianlah memahami kompleksitas inovasi bukanlah perkara mudah bagi para ekonom yang lebih banyak berada di negara maju. Inilah tantangan yang perlu kita jawab untuk membuka era inovasi yang lebih progresif.

Tersesat Kompleksitas

Komunitas sains memiliki peran publik yang vital terutama saat masyarakat menghadapi masa-masa sulit. Di negara maju, pertemuan informal antara peneliti dan masyarakat umum sudah menjadi hal yang lumrah. Pertemuan ini bertujuan untuk membangun persepsi positif masyarakat terhadap komunitas ilmiah sehingga masyarakat dapat menjadi mitra inovasi. (Foto: "Science Café: Varför ska vi lita på vetenskapen?" (Science Café: Mengapa Kita Harus Mempercayai Sains?Vetenskap & Allmänhe (2017, Creative Commons)


Dalam mengawali program inovasi iptek, pemerintah negara berkembang harus berhadapan pada tantangan utama: kurangnya referensi pengalaman sendiri. Konsekuensinya, secara logis, mereka menghadapi kesulitan lebih besar untuk bisa memahami secara lebih mendalam tentang dampak investasi litbang iptek terhadap pembangunan, terutama karena keterbatasan data dalam menghubungkan riset dengan pertumbuhan ekonomi. 

Kendala memahami efek aktivitas riset terhadap pembangunan ekonomi langsung terkait dengan hambatan pemerintah negara berkembang untuk sepenuhnya memahami dan menghargai komunitas peneliti beserta segala tuntutan profesinya. Permasalahan semakin rumit ketika harus menilai kontribusi peneliti — sebagai kelompok inti dalam suatu sistem inovasi — di industri swasta, termasuk dalam mengatur sistem gaji dan pemanfaatan hak paten karya mereka bagi perusahaan [3].  

Seperti di isu-isu lain, pemerintah negara berkembang dapat mengatasi tantangan ini dengan mencari dukungan melalui aktivitas peningkatan kapasitas dari rekan-rekan sejawat di negara maju yang telah memiliki sistem inovasi lebih matang. Namun, langkah ini bukanlah pola instan, karena memerlukan waktu untuk menyelaraskan sistem yang telah mapan di negara maju ke dalam konteks yang berbeda di negara berkembang.

Bila tidak sabar dalam mempelajari metode secara benar, ancaman paling besar bagi kalangan negara berkembang adalah isu iptek bisa jadi kendaraan liar narasi politis yang akhirnya bisa terlalu sulit untuk bisa aparatur pemerintah negara berkembang kendalikan [5]. Akibatnya, pemerintah negara berkembang justru bisa menciptakan kekecewaan atau menurunkan rasa percaya publik terhadap iptek dan inovasi.

Meskipun iptek memiliki potensi untuk membangkitkan imajinasi suatu bangsa dan menciptakan terobosan luar biasa, sejarah menunjukkan bahwa kebijakan iptek yang signifikan tidak lahir dari kehendak pemerintah semata untuk menciptakan kejayaan, melainkan karena dari tekanan dalam ancaman kekalahan dalam peperangan fisik dan dagang [6]. Pepatahnya mengatakan, "necessity is the mother of all invention", kebutuhan adalah ibu dari semua penemuan, bukannya, "splendor is the mother of all inventions", kesemarakan adalah induk dari semua invensi. 

Karena karakter inventif justru makin benderang kala masyarakat masuk ke masa-masa sukar, maka jangan heran pemerintah dan kelompok-kelompok masyarakat di negara-negara maju berupaya menjaga simpati dan persepsi positif publik terhadap iptek. Untuk itu, pemerintah negara berkembang pun perlu menciptakan pengalaman positif publik terhadap sains. Tujuan ini jauh lebih bijaksana daripada hanya mengejar simbol-simbol kejayaan yang semu.

Festival Budaya Baru


(Kiri) Teknologi kincir angin untuk kepentingan pertanian yang pemerintah Jepang sebarluaskan menjalankan program festival invensi di abad ke-19. (Kanan) Teknologi pompa air tenaga bayu untuk pertanian buatan inventor Korea di masa penjajahan Jepang. Berita mengenai invensi ini membuat penciptanya mendapat pesananan dari sektor lain sehingga ia pun mempatenkan mesin kreasinya. Jepang dan Korea kala itu tidak memiliki basis perguruan tinggi kuat sehingga kecill kemungknan para inventor mereka punya pendidikan tinggi. Foto: (Kiri) National Diet Library. (n.d., kepentingan wajar). (Kanan) Dong-a Daily (23 August 1928), dicetak ulang dengan izin oleh Lee (2013), dipergunakan di sini dalam kepentingan wajar (fair use). 


Pemerintah daerah (pemda) di negara berkembang perlu mendapatkan lebih banyak simpati karena mereka harus bekerja dengan lebih banyak keterbatasan sumber daya dan infrastruktur. Sementara itu, biarpun sama-sama minim dengan pengalaman asli, kolega mereka di pusat pemerintahan menikmati lebih banyak kesempatan untuk memahami konsep dan teori kebijakan iptek dan inovasi di dunia nyata.

Oleh sebab itu, kita akan fokus membahas posisi pemda. 

Dalam semangat memperluas rasa keadilan, penting bagi pemda mendorong kesempatan berinovasi yang lebih luas dan mendalam bagi masyarakat kelas bawah di daerah. Pendekatan ini bukan hanya akan memperkuat kredibilitas program pemda di mata publik, tetapi juga membantu para aparatur pemda melihat bahwa inovasi adalah bagian integral dari budaya bangsa dan dekat dengan realitas sebagian besar masyarakat setempat.

Tantangan utama yang pemda perlu hadapi di sini adalah membuktikan bahwa masyarakat yang mereka ayomi mempunyai upaya inovasi asli yang bermunculan dari aktivitas sehari-hari mereka. Pemda dapat memperkuat upaya masyarakat ini dengan membantu mereka mendapat perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI) dan menolong para penemu tersebut mengelola dengan efektif aset HKI mereka sebagai modal kerja.

Pendekatan promosi kemampuan masyarakat daerah ini pernah pemerintah Jepang laksanakan di awal masa pembangunannya dengan cara menjalankan kampanye festival invensi di daerah dalam intensitas dan durasi yang luar biasa masif [7]. Semangat emansipasi teknologis ini bahkan bisa kita katakan merembes ke masyarakat Korea selama masa penjajahan Jepang [8] hingga dapat menjelaskan mengapa mereka, pada era kemerdekaan, lebih mudah menerima ide-ide teknologis dalam upaya mempercepat pembangunan.

Kisah di Asia Timur ini sebenarnya mencerminkan upaya untuk mengulang sejarah Revolusi Industri, di mana banyak penemu baru mencuat meskipun hanya mengandalkan keterampilan tinggi tanpa pendidikan tinggi bahkan merupakan mantan budak belian (lihat di situs Britannica), menyiratkan pesan zaman bahwa munculnya budaya inovasi iptek secara esensial memberikan peluang lebih besar bagi kalangan marjinal dan terbelakang untuk menggunakan ide kreatif sebagai modal untuk memperbaiki kualitas hidup. Tuhan Yang Maha Esa mengaruniakan daya kreativitas ke semua anak Adam dengan demikian setiap orang bisa menaikkan martabat hidupnya.

Melalui program promosi yang menjaring talenta di kalangan bawah di daerah seperti ini, pemda dapat mengumpulkan berbagai data yang relevan untuk keperluan evaluasi kebijakan. Mulai dari informasi administrasi paten yang oleh penemu setempat hasilkan hingga biaya riset dan nilai profit yang mereka dapatkan.

Dengan demikian, pemda dapat lebih tajam menilai dampak kebijakan inovasi yang mereka selenggarakan dan memperkuat peran mereka dalam menggerakkan roda pembangunan di tingkat lokal. Tidak hanya di situ, pada gilirannya, institusi iptek dan inovasi tingkat nasional akan merasakan manfaat dari menguatnya basis budaya dan persepsi masyarakat yang lebih kuat terhadap sains sebagai identitas bangsa.


Catatan:

[1] Lihat contohnya dalam Sonobe dan Otsuka (2006), di mana para penulisnya banyak menghilangkan posisi latar kebijakan pemerintah saat memeriksa hubungan berkembangnya industri dan kawasan sub-urban. Penghilangan ini cukup menarik karena konteks studi adalah pada negara yang tengah mengalami masa otoriter dan para penulis bahkan menulis bahwa pendirian suatu lembaga riset menyebabkan menanjaknya suatu sektor ekonomi di suatu wilayah. 

Sonobe, T., & Otsuka, K. (2006). The Division of Labor and the Formation of Industrial Clusters in Taiwan. Review of Development Economics, (10), 71–86. https://doi.org/https://doi.org/10.1111/j.1467-9361.2005.00301.x.

[2] Lihat referensi-referensi dasar 

Fagerberg, Jan, ' Innovation: A Guide to the Literature', in Jan Fagerberg, and David C. Mowery (eds), The Oxford Handbook of Innovation (2006), https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199286805.003.0001.

Verspagen, Bart, ' Innovation and Economic Growth', in Jan Fagerberg, and David C. Mowery (eds), The Oxford Handbook of Innovation (2006), https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199286805.003.0018.

[3] Lihat O'Sullivan (2006). O'Sullivan, Mary, ' Finance and Innovation', in Jan Fagerberg, and David C. Mowery (eds), The Oxford Handbook of Innovation (2006), https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199286805.003.0009.

[4] Lihat Stephan (1996). Stephan, P. E. (1996). The Economics of Science. Journal of Economic Literature, 34(3), 1199–1235. http://www.jstor.org/stable/2729500.

[5] Lihat Simandjuntak (2014). Simandjuntak, D. (2014). Riding the Hype: The Role of State-Owned Enterprise Elite Actors in the Promotion of Jatropha in Indonesia. Sustainability, 66(6), 3780–3801. https://doi.org/https://doi.org/10.3390/su6063780.

[6]  Lihat Lundvall dan Borrás (2006). Lundvall, B.-Å., & Borrás, S (2006). Science, Technology, and Innovation Policy . In S. Borrás (Ed.), The Oxford Handbook of Innovation. essayhttps://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199286805.003.0022.

[7]  Lihat Nicholas (2011). Nicholas, T. (2011). The Origins of Japanese Technological Modernization, 48(2), 272–291. https://doi.org/10.1016/j.eeh.2011.01.001.

[8] Lihat Lee (2013). Lee, J. (2013). Invention without Science: “Korean Edisons” and the Changing Understanding of Technology in Colonial Korea. Technology and Culture, 54(4), 782–814. https://www.jstor.org/stable/24468590










10 November 2023

Perguruan Tinggi dan Lembaga Riset, Apa Bedanya?



Konsep kunci. Tulisan ini mendeskripsikan mengenai perbedaan fungsi antara perguruan tinggi dan lembaga riset sehingga pendanaan atas mereka dalam waktu sama tidaklah bersifat duplikatif. Karena sejarahnya, perguruan tinggi mempunyai karakter lebih memetingkan kebebasan. Sebaliknya, peran lembaga riset lebih terikat pada arahan pemerintah atau misi formal yang lebih spesifik. Meskipun di dunia tidak ada standar tunggal untuk menilai keberhasilan lembaga riset di berbagai negara, namun para analis bisa mempelajari bagaimana peran institusi tersebut dalam menolong negara mengejar ketertinggalan. 


Masyarakat umum, bahkan tokoh-tokoh elit dalam opini publiknya, seringkali memperlakukan perguruan tinggi dan lembaga riset sebagai entitas yang punya peran identik, yaitu menghasilkan pengetahuan baru [1]. Namun, bila kita mengamati secara seksama, sulit untuk membedakan dengan tegas perbedaan fungsi di antara keduanya.

Bagi para analis kebijakan, pertanyaan menarik dalam hal ini adalah mengapa pemerintah-pemerintah di berbagai negara dunia mendirikan badan riset sekalipun mereka biasanya sudah memiliki banyak perguruan tinggi yang rutin melaksanakan penelitian? Mengapa pemerintah harus membiayai satu aktivitas sama di dua jenis lembaga berbeda?

Bagi analis kebijakan, penting untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut karena dapat membantu mereka memberikan saran kebijakan yang lebih efesien dan mengoptimalkan anggaran yang terbatas.

Perlu pembaca perhatikan, tulisan ini tidak bertujuan normatif, bukan untuk menjelaskan apa yang “seharusnya terjadi” di Indonesia. Lebih tepatnya, tulisan ini bertujuan memperkaya wawasan para analis, agar mereka bisa memberikan saran kebijakan yang menghargai rasa percaya dan hormat publik terhadap ilmu pengetahuan, teknologi (iptek), dan inovasi.

Evolusi Peran Perguruan Tinggi



Budaya perguruan tinggi telah berkembang dan menyebar selama hampir seribu tahun. Budaya simbolik seperti dalam jubah berwarna gelap pada acara wisuda adalah serupa di perguran tinggi di berbagai negara di dunia. Materi dan substansi yang sebangun menyebabkan kita dapat menggunakan institusi perguruan tinggi di negara maju sebagai model bagi pemikiran kebijakan di Indonesia (foto: ilustrasi AI)


Pada tahap awal, titik mula pendirian perguruan tinggi tercatat dalam sejarah ketika di kota Bologna mulai tumbuh kebiasaan berorganisasi di kalangan masyarakat di abad ke-12. Pedagang dan pengrajin membentuk persatuan-perserikatan, sementara para pelajar membentuk universitas yang secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai "komunitas pembelajar" [3].

Para penguasa setempat pada masa itu melihat universitas sebagai elemen penting dalam menyusun tatanan hukum dan sistem perundangan, juga sebagai alat untuk menarik kekayaan dan meningkatkan prestise kota. Mereka lalu memberikan dosen dan mahasiswa perlindungan serta perlakuan istimewa dalam ranah hukum, dan Universitas Bologna pun selama beberapa ratus tahun menjadi panutan bagi lembaga-lembaga serupa di wilayah lain [3].

Para penguasa keagamaan atau wilayah kemudian mendirikan lembaga serupa, sebagian untuk mempelajari berbagai keterampilan tinggi (liberal arts), lainnya hanya hukum dan kedokteran. Pada umumnya, universitas-universitas tersebut mengakui tunduk pada kewenangan otoritas wilayah dan keagamaan setempat [3].

Walaupun berbeda dengan pola yang berlaku pada zaman kita, seiring berjalannya waktu, berbagai unsur yang membentuk karakter universitas modern mulai terbentuk. Perubahan tersebut mencakup regulasi dalam merekrut pengajar, sistem kompensasi dosen, distribusi buku pelajaran, prosedur penerimaan mahasiswa dan pengajar dari luar negeri, simbol identitas (pakaian, bendera, dan pernik lainnya), proses evaluasi, pengeluaran ijazah, penamaan gelar akademik, operasional asrama, manajemen bangunan, struktur administratif universitas, otonomi perguruan tinggi, penentuan kurikulum, metode belajar skolastik (memanfaatkan logika untuk untuk menafsirkan dan menyatukan berbagai teks), penyerapan pengetahuan dari praktisi di luar dunia akademik, serta harapan-harapan seputar peran dan kualitas lulusan dalam masyarakat [3].

Ketika itu, studi hukum dianggap sebagai disiplin ilmu yang sangat menjanjikan. Bidang ini mempersiapkan mahasiswa untuk berkarir di pemerintahan, baik dalam ranah keagamaan (ecclesiastical) maupun sipil [3].

Hal mendasar yang membedakan perguruan tinggi pada masa awal dengan masa kini adalah, pada umumnya, mereka tidak mengajarkan materi-materi praktikal seperti arsitektur, peternakan, dan pembedahan (meskipun kedokteran sudah termasuk dalam program). Namun, perkembangan pola dan topik pengajaran di perguruan tinggi merupakan pencerminan perubahan dalam tatanan sosial masyarakat [3].

Di abad ke-14, kelompok intelektual humanis yang berkumpul di luar universitas menciptakan Era Pencerahan (Renaissance). Di abad berikutnya, kalangan akademik sudah mengadopsi gaya humanis yang lebih lentur, persuasif, dan kaya dalam berekspresi sehingga mudah menyerap ke berbagai komunitas [3].

Perlengkapan intelektual yang humanisme berikan ternyata juga menyebabkan para akademisi menjadi lebih kritis terhadap bahan-bahan pembelajaran tradisional. Kebiasaan baru ini akhirnya mempengaruhi reformasi dalam struktur bidang studi, yang pada akhirnya menghasilkan bentrokan dengan otoritas, seperti yang tampak pada kasus Galileo Galilei yang memperkenalkan teori heliosentrik [3].



Saat ini, semua kalangan bebas belajar ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) untuk kepentingan hidupnya sendiri. Kebebasan tersebut merupakan pengaruh dari perkembangan budaya perguruan tinggi yang menyebar ke masyarakat luas (foto: ilustrasi AI)


Ide-ide segar yang cendekiawan universitas bawakan sejatinya mengguncang fondasi pranata masyarakat karena menjelaskan bahwa hukum alam memiliki keabadian yang lebih kuat dari peraturan sosial di masyarakat. Cara pandang baru itu ikut mendorong lahirnya Deklarasi Kemerdekaan Amerika pada tahun 1776 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara Perancis tahun 1779 yang merupakan seruan untuk mengakhiri status istimewa kelompok-kelompok yang saat itu berkuasa [3].

Kalangan universitas yang sebelumnya submisif di bawah otoritas, akhirnya menyuarakan perubahan kekuasaan. Mereka pun berekspansi, membentuk organisasi semacam Royal Society di Inggris Raya dan Akademi Sains Prancis - institusi serupa kemudian berdiri di negara-negara lain, yang mempromosikan dan memanfaatkan talenta ilmiah dan seni [3].

Tidak hanya di situ, di abad ke-19, semakin banyak perguruan tinggi yang berdiri langsung dengan tujuan praktikal atau vokasi sehingga makin jauh meninggalkan kebiasaan berorientasi pada kekuasaan. Contoh perguruan tinggi tersebut adalah Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan California Institute of Technology (Caltech) [4]. 

Saat ini, semakin banyak negara maju dan berkembang menempatkan perguruan tinggi sebagai instrumen pembangunan dan perubahan ekonomi berbasis pengetahuan. Sejak tahun 1970-an, pemerintah berbagai negara telah berupaya meningkatkan laju transfer kemajuan penelitian akademis ke industri [5].

Berbagai variasi peran perguruan tinggi dalam sistem inovasi nasional antara lain [5]:
  • Menyebarkan informasi iptek hingga mengefesienkan litbang industri;
  • Menyediakan keahlian (dalam figur dosen) dan tenaga kerja;
  • Memasok prototipe untuk produk dan proses baru;
  • Menjadi konsultan dan mitra litbang bagi industri, termasuk bagi perusahaan yang bergerak di sektor berbasis ilmu pengetahuan;
  • Mengembangkan kawasan komersialisasi teknologi (menghasilkan industri unggulan daerah);
  • Memperkuat karakter sektor unggulan daerah.
Perguruan tinggi juga dapat bertindak menyebarluaskan informasi teknologi industri bagi publik dalam bentuk paten teknologi yang menjadi referensi litbang bagi masyarakat luas [6]. Tentu saja ini bisa terjadi manakala industri setempat sudah memiliki kebiasaan atau kemampuan menghitung profitabilitas investasi litbang.

Selain itu, mengambil inspirasi dari kebijakan negara maju (tepatnya Bayh—Dole Act), analis kebijakan bisa mengevaluasi sejauh mana tingkat perhatian perguruan tinggi lokal terhadap manajemen aset hak kekayaan intelektualnya. Namun, tanpa adanya kesadaran di industri, sulit untuk memproyeksikan perguruan tinggi dengaan karakter kebebasannya yang tinggi dapat aktif melakukan transfer teknologi ke industri.

Dengan kata lain, bila suatu negara berkembang ingin meniru keberhasillan MIT atau Caltech, misalnya, mereka perlu mengingat bahwa institusi-institusi tersebut berdiri di wilayah yang sudah memiliki industri lebih matang dan beragam sehingga punya permintaan lebih tinggi terhadap modal iptek.

Lembaga Riset

Tidak seperti perguruan tinggi, lembaga riset (public research institute) tidak punya citra seragam. Ada negara yang sangat mengandalkan mereka, ada yang tidak [7]. 

Tidak seperti perguruan tinggi yang memancarkan citra kosmopolitan dan egaliter, lembaga riset memiliki peran yang bersifat khusus, berdasarkan arahan pemerintah. Ada yang mendapat tugas di bidang ilmu dasar, lainnya ada yang fokus ke tataran terapan mengikuti permintaan pasar, sehingga aktivitas riset di lembaga riset lebih terfokus daripada di perguruan tinggi [7][8].

Di negara maju, beberapa tren perilaku dan masalah lembaga riset adalah sebagai berikut [8]:
  • Keterbukaan dan responsif: Lembaga riset diharapkan meningkatkan keterbukaan dan respons terhadap kebutuhan pasar;
  • Bersaing dalam pendanaan: Lembaga riset semakin mengandalkan pada berbagai pendanaan riset yang kompetitif;
  • Tantangan sumber daya manusia: Mengalami tantangan lebih besar dalam mempertahankan dan mengoptimalkan sumber daya manusia (SDM);
  • Jaringan pribadi: Jaringan pribadi SDM ke komunitas industri dan internasional merupakan modal bagi lembaga;
  • Relevansi lembaga: Pengarahan dan tata kelola yang efektif sangat penting untuk memastikan relevansi lembaga;
  • Motivasi pemerintah: Pemerintah perlu mendorong lembaga lebih sukses dalam evaluasinya melalui peningkatan otonomi, kolaborasi, dan daya tanggap terhadap pemangku kepentingan [8].
Bila mendapat tugas mengevaluasi lembaga riset, para analis kebijakan perlu memperhatikan bahwa bahwa mereka tidak bisa menetapkan ukuran keberhasilan secara seragam. Setiap lembaga riset memiliki karakteristik dan tujuan yang berbeda.

Sebagai contoh, beberapa lembaga riset mungkin tidak bisa menghasilkan banyak paten, namun lebih berfokus pada publikasi ilmiah karena mereka berfungsi melayani kepentingan masyarakat luas dalam bidang tertentu. Sementara itu, mungkin ada lembaga lain yang memerlukan evaluasi kualitatif karena sejarah perkembangan mereka telah mengikuti perubahan dalam kompleksitas ekonomi negara [8].

Para analis juga bisa memetik pelajaran tentang bagaimana intervensi pemerintah mengatasi hambatan inovasi di sektor industri dengan memeriksa operasi lembaga riset di negara maju. Peran lembaga riset sangat relevan dalam mengejar ketertinggalan, dan hal ini dapat mencakup antara lain [8]:
  • Menolong industri lokal memahami teknologi canggih dari luar negeri sehingga meningkatkan kelajuan pembangunan ekonomi;
  • Menyiapkan berbagai pengetahuan atas teknologi baru yang masih berkembang di dunia sebagai bagian strategi mempercepat adaptasi oleh industri lokal;
  • Menciptakan platform jaringan antar industri hingga bisa menciptakan rantai industri lebih utuh atas suatu jenis teknologi yang mash berkembang;
  • Membantu industri menterjemahkan berbagai invensi baru kedalam tataran komersial hingga meningkatkan daya kompetisi ekspor mereka;
  • Menghimpun dukungan pemerintah (termasuk dalam format yang tersedia dalam berbagai program pemerintah) dan perguruan tinggi agar bisa menjawab tuntutan spesifik industri;
  • Memantau perkembangan teknologi di negara-negara termaju di dunia.
Dengan mempelajari dan menerapkan praktik terbaik yang ada di seluruh dunia, pemerintah dapat mengharapkan bahwa lembaga riset akan mampu mencapai prestasi yang spesifik, termasuk membuka jalan bagi perguruan tinggi untuk terlibat lebih dalam dunia nyata. Namun, untuk mencapai tujuan ini, lembaga riset perlu mendapatkan pembinaan berkualitas dari pemerintah dalam bentuk peraturan, pendanaan, serta penetapan target jangka pendek dan panjang yang jelas [8].

Semoga sekarang pembaca sudah dapat menangkap perbedaan antara perguruan tinggi dan lembaga riset, sehingga memahami mengapa pemerintahan di dunia mendirikan keduanya meskipun dalam aktivitas serupa.


Catatan:

[1] Lihat misalnya Kesowo (2021) dan Wiratman (2022)

Kesowo, B. (2021, Juni 04). BRIN, Sebuah Sisi Pandang. Kompas. https://www.kompas.id/baca/opini/2021/06/04/brin-sebuah-sisi-pandang/

Wiratraman, H. P. (2022, Januari 19). Independensi Lembaga Riset . Kompas. https://www.kompas.id/baca/opini/2022/01/18/independensi-lembaga-riset

[2] Cukup banyak diskusi ilmiah yang bisa menjabarkan alasan mengapa moralitas pemerintahan akan cenderung tidak bisa menerima adanya duplikasi penugasan lembaga yang aktivitasnya serupa. Lihat misalnya  dalam Landau (1969). Landau, M. (1969). Redundancy, Rationality, and the Problem of Duplication and Overlap. Public Administration Review, 29(4). https://doi.org/https://doi.org/10.2307/973247

[3] Ada cukup banyak referensi mengenai sejarah perguruan tinggi (universitas), misalnya Moore (2018). Moore, J. C. (2018). A Brief History of Universities. Palgrave Pivot Cham. https://doi.org/10.1007/978-3-030-01319-6

[4] Lihat sumber-sumber di situs MIT dan Caltech:

Caltech Gets Its Start in Old Town Pasadena. Caltech. (n.d.). https://www.caltech.edu/map/landmark_ajax/563/history/details

MIT Facts: MIT History. MIT Facts | MIT History. (n.d.). https://libraries.mit.edu/mithistory/mit-facts/

[5] Lihat Mowery dan Sampat (2006). Mowery, David C., and Bhaven N. Sampat, ' Universities in National Innovation Systems', in Jan Fagerberg, and David C. Mowery (eds), The Oxford Handbook of Innovation (2006), https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199286805.003.0008.

[6] Lihat Suzuki dkk (2015). Suzuki, J., Tsukada, N., & Goto, A. (2015). Role of Public Research Institutes in Japan’s National Innovation System: Case Study of AIST, RIKEN and JAXA. Science, Technology and Society, 20(2). https://doi.org/https://doi.org/10.1177/09717218155797

[7] Lihat Edquist (2006). Edquist, Charles, ' Systems of Innovation: Perspectives and Challenges', in Jan Fagerberg, and David C. Mowery (eds), The Oxford Handbook of Innovation (2006), https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199286805.003.0007.

[8] Lihat Intarakumnerd dan Goto (2018). Intarakumnerd, P., & Goto, A. (2018). Role of public research institutes in national innovation systems in industrialized countries: The cases of Fraunhofer, NIST, CSIRO, AIST, and ITRI. Research Policy, 47(7), 1309–1320. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.respol.2018.04.011

03 November 2023

Agar Kebijakan Hilirisasi Berhasil



Konsep kunci. Tulisan ini menekankan pentingnya fungsi analis untuk mendukung program hilirisasi sumber daya alam. Dalam tugas membangun rekomendasi kebijakan bidang iptek dan inovasi, para analis perlu melakukan perbandingan sektoral dengan negara maju. Satu sektor bisa kita anggap memiliki basis pengetahuan sama di seluruh dunia sehingga performa negara maju di bidang tersebut dapat merefleksikan apa yang pemerintah Indonesia perlu lakukan di sektor yang sama.


Baru-baru ini media memberitakan pemerintah berharap kabinet berikutnya bisa melanjutkan program hilirisasi sumber daya alam (SDA). Bila kita sarikan apa yang media beritakan, hilirisasi adalah proses meningkatkan nilai tambah komoditas yang dihasilkan suatu negara, terutama pada sektor pertambangan [1].

Namun, konsep hilirisasi yang beredar di masyarakat masih terbatas pada pengertian tradisional, yaitu mengolah bahan mentah menjadi produk setengah jadi atau jadi. Padahal, bila kita tilik literatur, para ahli analis kebijakan iptek dan inovasi global mengartikan hilirisasi (downstream) secara lebih luas, yaitu kegiatan litbang terapan, riset pengembangan produk, atau penelitian tingkat pasar [2].

Di kacamata kebijakan iptek dan inovasi global, semua sektor bisa menjadi hilir dan satu bidang dapat jadi muara bagi bidang lainnya. Misalnya, industri pertambangan untuk kesinambungannya perlu menarik dukungan inovasi dari sektor-sektor lain, seperti industri pembuatan kapal laut, teknik mesin, instrumentasi elektronika (lihat gambar di bawah) [3].



Klik gambar untuk memperbesar.

Bila melihat konseptualisasi di atas (Smith, 2006), seperti pada bidang manufaktur tradisional, pertanian, konstruksi perumahan, industri pertambangan yang kuat membutuhkan dukungan dari industri-industri pendukungnya.  Oleh karena itu, para analis perlu menyelidiki dugaan apakah masalah sejati bidang pertambangan bukan berada di sektor itu sendiri, tapi ada di area-area pendukungnya, seperti industri pembuatan kapal laut (shipbuilding), teknik mesin, dan instrumentasi elektronika. Bila itu benar, untuk memperbaiki sektor pertambangan, maka konsekuensinya, pemerintah bisa mendorong sektor pertambangan jadi bidang yang menciptakan permintaan (demand) inovasi dari sektor-sektor pendukungnya.


Bila tidak teliti, perbedaan pengertian hilirisasi yang populer dan kaum ahli pahami ini dapat menjadi jebakan bagi para analis kebijakan. Lantas, bagaimana para analis dan pengambil keputusan sebaiknya menyikapi isu hilirisasi?

Permintaan Sektoral

Semua warga Indonesia ingin negaranya sukses dalam hilirisasi SDA. Untuk itu, para analis dan pengambil keputusan perlu berani membandingkan sektor pertambangan Indonesia dengan negara-negara lain, terutama yang memiliki reputasi berkamampuan teknologi tinggi.

Komparasi ini penting bukan karena tujuan membuat berita hiperbolis. Tujuannya adalah menghasilkan rekomendasi empiris untuk kebijakan yang dapat meningkatkan kapabilitas teknologi sektor pertambangan Indonesia.



Operasi pertambangan di Indonesia (kiri), Amerika Serikat (AS) (tengah), dan China (kanan), serta negara lain punya basis pengetahuan sama. Dari prinsip kesamaan pengetahuan itu, para analis bisa membandingkan kondisi inovasi pertambangan di ketiga negara.

 Foto:
Harahap (2014, Creative Commons)USDA (2019, Creative Commons), Lawford (2005, Creative Commons).


Pada prinsipnya, hukum sains yang mempengaruhi segala invensi teknologi akan berlaku sama di manapun di alam semesta. Dalam perspektif analisis kebijakan, perbedaan nilai invensi bukan dari faktor alamiah, melainkan sosial, yaitu dari bagaimana industri setempat melindungi invensi mereka dari tiruan pesaing.

Para pengusaha adalah yang punya peran penting menciptakan dinamika dalam memanfaatkan kesempatan teknologis. Beberapa pengusaha menghancurkan pola bisnis lama (fenomena yang biasa disebut "Schumpeter Mark I"), sementara lainnya mengakumulasikan pengetahuan mendominasi pasar ("Schumpeter Mark II") [4].

Di tataran sektor, faktor pembeda antar bidang adalah sumber inovasi dan mekanisme penyesuaiannya (appropriability) oleh industri. Di antara sektor industri, pengelompokan yang biasa berlaku jadi patokan awal analisis adalah sebagai berikut [4][5]:

  1. Sektor yang memerlukan dukungan eksternal (misalnya sektor manufaktur tradisional, pertanian, konstruksi perumahan);
  2. Sektor yang menekankan faktor besarnya skala. Bidang ini menekankan inovasi proses. Sumber inovasinya sendiri berasal dari dalam (litbang khusus dan atau dari pengalaman rutin) maupun pihak eksternal (seperti para penyedia peralatan). Contoh sektor skala ini adalah industri otomotif dan baja;
  3. Sektor pemasok khusus (misalnya produsen peralatan), yang memfokuskan inovasinya pada peningkatan kinerja, keandalan, dan penyesuaian khusus. Sumber inovasi berasal dari pihak internal (misalnya pengalaman para teknisi) dan eksternal (interaksi dengan konsumen). Contoh sektor ini adalah industri peralatan konstruksi dan pertambangan, serta instrumentasi;
  4. Sektor berbasis ilmu pengetahuan. Karakter sektor ini ada pada tingginya tingkat inovasi produk dan proses, melalui litbang internal, maupun kerjasama riset bersama perguruan tinggi dan lembaga riset publik. Sumber inovasi mereka adalah perkembangan ilmu pengetahuan dengan cara penyesuaian antara lain melalui paten, upaya riset yang lebih cepat, dan perlindungan rahasia perusahaan. Contoh sektor ini adalah misalnya farmasi dan elektronik.

Berdasarkan konsep pengelompokan di atas, kita patut asumsikan industri di sektor pertambangan Indonesia perlu fokus pada dua hal utama untuk berinovasi: tenaga kerja terampil dan kerja sama antar industri (business-to-business). Kedua hal ini merupakan sumber inovasi yang paling potensial untuk mengangkat inovasi di sektor pertambangan, prioritasnya ada di atas aktivitas litbang.

Lebih lanjut, karakter suatu sektor inovasi di satu negara dapat kita katakan punya satu kesamaan dengan sektor serupa di negara lain terutama karena basis pengetahuan keduanya adalah sama [6]. Dari titik masuk kesamaan pengetahuan itulah analisis perbandingan bisa berlangsung.

Dari analisis satu sektor sama namun dengan negara-negara berbeda, para analis bisa menghasilkan berbagai kesimpulan rekomendasi tentang bagaimana mendorong permintaan (demand) akan inovasi dalam sektor pertambangan di Indonesia. Ini karena di suatu sektor ada interaksi permintaan-penyedia (supply) antar industri.

Kebijakan permintaan terhadap inovasi akan memberikan sinyal prospek lebih kuat bagi industri di suatu sektor dibanding kebijakan penyediaan. Sebaliknya, bila suatu pemerintahan menyediakan kesempatan iptek dan inovasi terlalu banyak (crowding out) — misalnya menyelenggarakan riset tanpa memperhatikan kebutuhan industri — maka dampaknya secara logis dapat menjadi kontraproduktif karena justru akan meningkatkan impresi bahwa litbang bukan urusan industri [7].

Analisis Berdampak

Analisis kebijakan di bidang iptek dan inovasi memiliki tujuan utama untuk menggalakkan inovasi iptek agar memberikan dampak sosial dan ekonomi yang positif. Di dalam praktiknya, para analis kebijakan tidak memiliki kebebasan mutlak dalam menentukan arah kerja mereka, melainkan harus mempertimbangkan berbagai batasan pada aspek hukum, anggaran, regulasi, target lembaga, panduan dari atasan, serta memperhatikan perubahan tren politik dan masukan dari kolega sejawat.

Seiring dengan meningkatnya karir, seorang analis kebijakan akan menerima kesempatan lebih besar mempengaruhi perjalanan agenda kebijakan. Kesempatan ini seringkali muncul saat mereka menerima  tugas untuk mengevaluasi program kebijakan yang berlangsung secara rutin pada akhir setiap tahun anggaran.

Karena kerangka kerja seorang analisis menyangkut hal nonteknis bahkan politis, keberhasilan dalam menyusun rekomendasi kebijakan tidak hanya bergantung pada data yang ia sajikan [8]. Di sinilah kombinasi integritas etika dan wawasan luas menjadi sangat penting bagi seorang analis kebijakan, agar rekomendasi yang ia ajukan benar-benar memberikan manfaat positif bagi masyarakat.

Sebagai contoh praktik di Indonesia, kita dapat mengacu pada berita mengenai lembaga pemerintah di bidang energi dan mineral yang beberapa tahun lalu berhasil mengajukan beberapa paten sebagai hasil litbang. Namun, jika kita membandingkannya dengan prestasi lembaga riset sektor pertambangan di berbagai negara maju secara teknologi (Fernandez, 2021), jumlah paten tersebut tampak terlalu kecil karena jauh di bawah capaian lembaga riset sektor pertambangan di negara-negara yang maju dalam teknologi.

Bila pencapaian lembaga tersebut sesuai arah kebijakan sebelumya, maka analisisnya terlalu lemah. Oleh karena itu, wajarlah bila kemampuan inovasi dan teknologi hilirisasi mineral hingga saat ini masih bergantung pada teknologi impor karena memang preskripsi kebijakannya lemah. 

Apabila tidak ada perbaikan kualitas rekomendasi para analis kebijakan, sektor binaan lembaga tersebut akan statis kondisinya.

Di masa depan, para analis kebijakan perlu mempeluas wawasannya dengan menjalankan studi perbandingan kondisi negara-negara kuat di sektor setaraf. Perkaya substansi, agar preskripsi kuat.

Tanpa wawasan yang memadai, kerajinan seorang analis pun jadi minim arti. Rekomendasi yang analis miskin wawasan berikan berpotensi membuat pengambil keputusan tergelincir pada jalur yang tidak tepat, dan masyarakatlah yang menanggung mudarat.

Demikianlah analis yang terampil adalah kunci kebijakan yang berhasil.



Catatan:

[1] Lihat CNN Indonesia (2023), Tempo (2023), 

CNN Indonesia. (2023, Februari 21). Marak Digaungkan Jokowi, Apa Itu Hilirisasi? https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20230221100544-85-915697/marak-digaungkan-jokowi-apa-itu-hilirisasi

Tempo. (2023, Juli 11). Arti Hilirisasi Dan Fungsinya. https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/483154/arti-hilirisasi-dan-fungsinya

[2] Lihat buku Oxford Handbook of Innovation yang merupakan bahan referensi dasar studi kebijakan iptek dan inovasi. Fagerberg, Jan, and David C. Mowery (eds), The Oxford Handbook of Innovation (2006), https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199286805.001.0001.

[3] Lihat Smith (2006). Smith, Keith, ' Measuring Innovation', in Jan Fagerberg, and David C. Mowery (eds), The Oxford Handbook of Innovation (2006), https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199286805.003.0006.

[4] Lihat Malerba (2006). Malerba, Franco, ' Sectoral Systems: How and Why Innovation Differs across Sectors', in Jan Fagerberg, and David C. Mowery (eds), The Oxford Handbook of Innovation (2006), https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199286805.003.00143.

[5] Lihat Pavitt (1984). Pavitt, K. (1984). "Sectoral patterns of technical change: towards a taxonomy and a theory". Research Policy. 13 (6): 343–373. https://doi.org/10.1016/0048-7333(84)90018-0.

[6] Lihat bahan-bahan dari Prof. Franco Malerba antara lain Malerba (2002), tokoh yang banyak berkontribusi memperkenalkan konsep sistem inovasi sektoral. Malerba, F. (2002). Sectoral systems of innovation and production. Research Policy, 31(2). https://doi.org/https://doi.org/10.1016/S0048-7333(01)00139-1

[7] Lihat diskusi terkait misalnya dalam Guellec dan van Pottelsberghe de la Potterie (2000). Guellec, D., & van Pottelsberghe  de la Potterie, B. (n.d.). The Impact of Public R&D  Expenditure on Business  R&D. https://dx.doi.org/10.1787/670385851815

[8] Lihat diskusi tentang kontradiksi ini misalnya di Mankiw (2017, p. 28). Mankiw, N. G. (2017). Principles of microeconomics (7th ed.). CENGAGE Learning Custom Publishing.

Mimpi Caleg

Mimpi para caleg tercermin jelas di jalanan, di mana poster-poster mereka berderet bergantungan. Banyak wajah baru politisi menyibak, entah ...