Tampilkan postingan dengan label Instrumen Kebijakan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Instrumen Kebijakan. Tampilkan semua postingan

26 Januari 2024

Mimpi Caleg




Mimpi para caleg tercermin jelas di jalanan, di mana poster-poster mereka berderet bergantungan. Banyak wajah baru politisi menyibak, entah bagaimana mereka mengukur peluang menghadapi pertarungan politis yang tentu melibatkan biaya banyak.

Pemandangan serupa sesunguhnya melingkupi ranah ilmiah di Indonesia. Data Scopus/SciVal (lihat Tabel I) mendedahkan bahwa selama kurun 10 tahun terakhir (2013-2022), Indonesia mencatat kenaikan jumlah kontributor penulis ilmiah tertinggi di antara anggota G20, mencapai angka fantastis sekitar 31,52%.

Jika pemerintah cakap mempertahankan akselerasi pertumbuhan yang tinggi ini, pada tahun 2030 2031 (revisi 28 Januari 2024), jumlah sumber daya manusia (SDM) baru iptek di Indonesia akan melampaui angka satu juta. Berbarengan dengan India, Indonesia akan masuk dalam liga teratas dalam pemilik SDM berkemampuan jadi produsen iptek bersama Amerika Serikat, Cina, dan Uni Eropa.

Bukan hanya sebagai akademisi atau peneliti, dengan kapabilitas menyerap dan menghasilkan pengetahuan baru, SDM iptek itu berpotensi merintis spesialisasi baru berbagai bidang industri hingga mendiverifikasikan perekonomian Indonesia. Dengan jumlah SDM mumpuni jauh lebih besar, bangsa Indonesia pun perlu bermimpi lebih besar. 

Politik Inovasi 

Kita perlu ingat, gerakan inovasi di antara negara-negara paling berpengaruh dalam inovasi teknologi di zaman iptek ini terutama karena dukungan politik, bukan semata hasil analisis profitabilitas bisnis yang cermat. Sebuah contoh bagus adalah Silicon Valley, salah satu kawasan pusat industri teknologi tinggi dunia, yang tumbuh natural melalui sokongan pendanaan riset tingkat nasional dan dukungan kewirausahaan dari pemerintah setempat. 

Secara konseptual, dorongan politik akan menolong lahirnya kebijakan mengintegrasikan aktor-aktor spesialis pada konteks sosioekonomi yang lebih luas sehingga segala upaya inovasi bisa memiliki skala, arah, dan kesuksesan memadai (Edquist, 2009). Konsistensi tradisi politik pro iptek juga akan membantu akseptasi kolektif terhadap kehadiran teknologi baru dengan segala dampaknya yang kenyataanya tak selalu positif (misalnya, mengakibatkan hilangnya satu jenis usaha).

Apapun skop pembicaraannya – daerah, nasional, sektoral maupun multinasional – setiap politisi sepatutnya punya sumbangan dalam memagnifikasi visi inovasi Indonesia. Ini karena ilmu pengetahuan selalu terhubung dengan hak kekayaan intelektual yang merupakan aset tak terwujud hingga distribusi efek positif ilmu pengetahuan bagi pembangunan akan sangat membutuhkan dorongan politis yang juga berkarakter imajiner namun terasa konkret keberadaannya di masyarakat.

Pentingnya pengaruh kekuatan politik ini bisa terlihat misalnya dari bagaimana tingginya reputasi inovasi teknologi Singapura yang tidak menyebar ke negara-negara tetangga biarpun secara alamiah, posisi geografis mereka sangat dekat. Tanpa meningkatkan motivasi politisnya sendiri, negara-negara tetangga Singapura termasuk Indonesia tak bakal bisa menikmati perbaikan reputasi inovasi di mata dunia.

Pembeda prestasi inovasi bangsa-bangsa bukanlah dari faktor tanpa sadar, melainkan dari komitmen politiknya. Oleh sebab itu, di sisa tulisan ini, penulis memberikan beberapa ide yang para politisi bisa wujudkan kelak agar mereka bisa turut mendefinisikan tujuan politis negara terhadap iptek. 

Kontribusi Politikus

Dalam langkah-langkah mendukung eksistensi iptek di Indonesia, terdapat aspek mendasar yang seharusnya menjadi fokus para politikus, yaitu membangun pusat diseminasi iptek di daerah yang memberikan jaminan akses bagi konstituennya untuk menyuarakan kebutuhan inovasinya. Lembaga kedaerahan semacam ini menjadi penentu utama dalam membantu aktor industri lokal membentuk relasi strategis dengan industri lain, perguruan tinggi, dan lembaga riset di seluruh Indonesia, sehingga dapat mengurangi risiko kegagalan inovasi.

Tengoklah pengalaman Jepang, dimana jaringan lembaga diseminasi iptek telah merajai kota dan daerah rural selama lebih dari satu abad (Fukugawa, 2022). Para pemangku kepentingan dapat dengan mudah menelaah dan mengadopsi desain institusi kuat semacam itu dari Jepang, negara sahabat kita, sehingga dorongan politikus mendirikan pusat diseminasi iptek yang terpercaya dapat lebih cepat terealisasikan dan area unggulan kompetitif daerah pun segera terjelma.

Ide lain yang para politisi dapat ekskusi dengan biaya relatif rendah adalah mendorong perguruan tinggi lebih proaktif dalam menyebarkan hasil penelitian yang relevan dengan kebutuhan masyarakat di wilayah pemilihannya atau seiras dengan fokus partai politik masing-masing. Upaya ini tidak hanya bernilai praktis, tetapi juga dapat memupuk tumbuhnya norma di kalangan peneliti, khususnya dalam menggunakan dana publik, agar memprioritaskan agenda transfer pengetahuan untuk memaksimalkan dampak sosioekonomi dari riset yang mereka jalankan.

Di skala nasional, politisi dapat memobilisasi proyek-proyek unggulan nasional yang berbobot strategis, yang mampu menggerakkan seluruh sektor perekonomian secara serentak. Walaupun demikian, intervensi politik harus selaras dengan prinsip menghormati persaingan usaha, guna memperkuat daya saing industri Indonesia di panggung global.

Di tataran multinasional, para politisi dapat turut mempromosikan penelitian dalam ilmu dasar yang berperan dalam produksi pengetahuan generik untuk menjadi fondasi bagi berbagai aplikasi di sektor-sektor publik. Menyimak pendanaan riset Angkatan Darat AS yang baru-baru ini berkontribusi pada pemenang Nobel, dukungan politik terhadap bidang dasar dapat memperkuat prestise internasional pemerintahan iptek di Indonesia.

Seperti tercermin dari penghargaan Nobel, tiap detil dinamika keunggulan keilmiahan cenderung terpantau komunitas sains antarnegara sehingga penting untuk disadari bahwa evaluasi dampak kebijakan iptek dan inovasi mustahil bisa politikus manipulasi. Setidaknya data-data saintometrik (analisis pengukuran literatur ilmiah dan paten), seperti yang tulisan ini berikan di atas, hampir tidak mungkin dipalsukan karena termanifestasi oleh komunitas iptek di seluruh dunia.

Kuatnya nuansa supranasional dari komunitas iptek yang keanggotaannya tak berbatas demarkasi politis memberikan peringatan bagi para politikus untuk jangan pernah membohongi publik soal inovasi iptek karena pasti cepat ketahuan. Demikianlah kita membutuhkan politikus yang bergagasan tulen, bukan bermimpi semusim hanya saat pemilu berlangsung, untuk konsisten membantu kemajuan iptek dan inovasi di Indonesia.


Amir Manurung, Doktor Kebijakan Publik (Iptek dan Inovasi) dari National Graduate Institute for Policy Studies, Tokyo, Jepang.






Klik gambar untuk memperbesar.

Koreksi
(Minggu, 28 Januari 2024) Terdapat revisi pada tabel karena kesalahan perhitungan. Sebelumnya, Indonesia terlihat menembus angka 1 juta pada 203. Setelah revisi, tahun berubah menjadi 2031. Tabel lama ada di sini. Perbaikan tidak mengubah saran kebijakan.

20 Oktober 2023

Lompatan Teknologi atau Mengejar Ketertinggalan, Pilih Mana?


Konsep kunci. Lompatan teknologi dan mengejar ketertinggalan adalah dua hal yang memiliki pemahaman berbeda. Lompatan teknologi adalah perubahan teknologi yang tiba-tiba, sedangkan mengejar ketertinggalan adalah proses bertahap. Para analis kebijakan bisa membangun preskripsi menggunakan dua pendekatan berbeda tersebut, mengikuti ketentuan instansi masing-masing. Untuk itu, mereka perlu lebih menguasai berbagai instrumen kebijakan iptek dan inovasi. 


Dalam tiap langkah percaturan pembangunan di tanah air, istilah "lompatan teknologi" selalu terdengar begitu mengguggah dan menyenangkan hati khalayak. Istilah ini merujuk pada perubahan luar biasa dalam skala besar, baik itu dalam berita pengembangan teknologi terbaru maupun penerapannya pada berbagai proyek tercanggih.

Namun, dalam kondisi di mana Indonesia masih memiliki reputasi tertinggal dalam kapabilitas teknologi, kita perlu setidaknya mempertanyakan frekuensi lompatan teknologi yang harus kita lakukan demi mencapai tujuan pembangunan. Apakah lompatan selalu lebih baik dari bergerak perlahan namun pasti?

Lompat Teknologi vs Mengejar Ketertinggalan

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita bisa merenungkan ajaran dari para ahli studi kebijakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi seperti Prof. Jan Fagerberg dan Prof. Manuel Mira Godinho (2003). Mereka memberi petunjuk bahwa "lompatan teknologi" (technological leapfrogging) berbeda maknanya dengan "mengejar ketertinggalan teknologi" (technological catching-up). 

Fagerberg dan Godinho mengungkapkan lewat studi kasus (2003, h. 19) bahwa suatu negara kecil bisa menikmati lompatan teknologi lewat pendekatan lebih pasif, misalnya dengan mengizinkan investor asing membawa dan mempergunakan teknologi milik mereka. Sebaliknya, mengejar ketertinggalan teknologi memiliki makna kejadian yang evolutif, lebih gradual.

Bila kita ringkas:

  • Lompatan teknologi adalah perubahan teknologi yang terjadi secara tiba-tiba, melewatkan langkah-langkah yang para pemimpin pengembangan teknologi global perlukan untuk mencapai tingkat teknologi yang lebih tinggi. 
  • Technological catching-up atau mengejar ketertinggalan teknologis adalah suatu proses progresif meningkatan kapasitas teknologi suatu negara atau industri di negara berkembang agar mengikuti kemajuan teknologi di negara-negara maju.

Pola lebih perlahan kadang harus jadi pilihan alamiah, misalnya karena suatu negara tak bisa menghindari mewariskan faktor kurangnya sumber daya terdidik. Bagaimanapun, dari studi kasus lain atas  negara yang kerap disebut terjebak dalam perangkap masyarakat kelas menengah (middle income trapped alias negara gagal makmur), yang mutlak pantang terjadi di Indonesia adalah lembaga-lembaga pengembang iptek tidak memiliki fungsi langsung dengan struktur pembangunan ekonomi [2].

Dengan demikian, mengejar ketertinggalan merupakan proses institusi-institusi mengenali dan mengkoreksi diri untuk menciptakan kebiasaan sebagaimana negara maju sudah wujudkan. Mengejar ketertinggalan bukan hanya masalah "iptek", namun juga ekonomi, politik, dan budaya [1].

Tak Semua Mau

Bila melihat dari kacamata ekonomi mikro, teknologi memegang peranan kunci dalam meningkatkan produktivitas dan efisiensi di seluruh sektor industri. Namun, peraturan dan hukum hak kekayaan intelektual serta hambatan keahlian halus (tacit) yang tak bisa dipelajari dari literatur bisa menjadi penghalang bagi suatu perusahaan dalam memanfaatkan inovasi milik perusahaan lain, hingga suatu teknologi komponen atau proses yang unggul tak begitu saja menyebar di pasar industri [3].

Penting bagi kita untuk memahami bahwa inovasi tidak hanya berwujud dalam produk akhir, melainkan juga dalam komponen atau suku cadang, dan mesin atau metode produksi. Besarnya investasi untuk menghasilkan inovasi yang bernilai tinggi karena posisinya yang vital bagi suatu kelompok industri (disebut "teknologi kunci") akan menyulitkan negara berkembang ikut terjun memproduksinya. 

Biarpun sulit, kenyataaannya negara-negara yang terlambat maju dapat secara revolusioner melakukan lompatan teknologi di industri dengan mengabaikan teknologi lama dan fokus pada teknologi baru yang invensi-invensi di dalamnya masih berkembang di seluruh dunia. Namun, agar bisa berhasil melompat secara teknologi, negara tersebut tetap perlu mengejar secara aktif lewat jalan litbang [4].

Tapi, apa alasan ada industri yang mau susah payah berlomba dalam invensi? Karena faktor keuntungan penggerak pertama (first mover's advantage), yaitu keunggulan dalam penguasaan, penciptaan jaringan, serta pembentukan skala dan pengaksesan pasar yang suatu industri dapatkan karena masuk sebagai pionir dalam suatu segmen bisnis tertentu (lihat gambar di bawah).


Klik gambar untuk memperbesar.
Ojol adalah segmen bisnis teknologis di mana Indonesia memiliki industri yang bisa menikmati keuntungan penggerak pertama. Di bidang ini,  meskipun sangat inspiratif, sulit bagi pemain baru menyaingi ide-ide baru yang aktor pionir kembangkan.

Biar begitu, di tataran negara, perlu kita sadari, kebangkitan teknologi bangsa bukanlah suatu keputusan normal yang suatu kelompok industri begitu saja bisa putuskan meskipun mereka termasuk grup terunggul. Meminjam teorema Coase yang ilmu ekonomi ajarkan, suatu kelompok industri bisa saling bernegosiasi sehingga semua yang berkepentingan dapat mencapai kesepakatan di mana semua partisipan menjadi lebih baik dengan keputusan yang ada dan hasilnya efisien [3].

Dari proyeksi teorema Coase kita bisa mengatakan tidak semua industri mencari keuntungan penggerak pertama karena ia bisa memancing gesekan persaingan baru. Bagi industri umumnya, lebih cepat atau lambat memunculkan suatu produk tidak selalu jadi masalah sehingga tidak mengherankan bahkan di seantero ASEAN tingkat aplikasi paten teknologi baru tak pernah banyak berubah karena toh mereka bisa selalu mengandalkan produsen dari Asia Timur dan negara maju lain (lihat grafik di bawah).



Klik gambar untuk memperbesar.
Brdasarkan data yang ada, kita bisa mengatakan intensitas invensi industri di negara-negara kawasan ASEAN tidak pernah meningkat secara signifikan misalnya bila dibandingkan dengan capaian para produsen teknologi di Asia Timur.

Jelaslah sekarang mengapa sejarah mengajarkan bahwa di era modern pihak pemerintahlah, bukan industri,  yang pertama kali motivasi memiliki untuk menggerakkan roda kebijakan teknologi untuk meningkatkan daya kompetisi [5]. Suatu perusahaan bisa tumbuh menjadi raksaksa dan sangat canggih, namun ia tidak akan sanggup mengemban amanah menggantikan peran pemerintah menciptakan perbaikan di seluruh masyarakat, termasuk dalam urusan iptek dan inovasi yang mereka sendiri butuhkan.


Berbagai Instrumentasi

Bagian di atas menggambarkan bagaimana ilmu ekonomi melihat tanggung jawab pemerintah dalam hal iptek dan inovasi adalah besar dan tak tergantikan. Tidak heran bila kepala pemerintahan di negara maju, seperti Amerika Serikat dan Jepang, mengawasi secara langsung masalah kebijakan iptek dan inovasi nasional.

Dengan memahami posisi pemerintahan ini kita bisa mengatakan setiap institusi sektoral di Indonesia memiliki kebutuhan dalam hal mengejar atau melakukan lompatan dalam bidang iptek dan inovasi. Para analis yang terlibat dapat memilihkan preskripsi pola agenda inovasi iptek - baik melakukan lompatan teknologi atau mengejar ketertinggalan - sesuai kebiasaan atau minat pimpinan institusi masing-masing.

Kini, kita bisa katakan, bila media menyoroti permasalahan sektor-sektor kurang produktif dan kompetitif, maka hal tersebut sangat mungkin erat kaitannya dengan kebijakan iptek dan inovasi. Oleh sebab itu, para analis perlu melihat berbagai opsi instrumen dalam ranah kebijakan iptek dan inovasi selain insentif pajak litbang sehingga iptek dapat memilliki seluruh konstruksi hulu-hilir (lihat gambar di bawah).


Klik gambar untuk memperbesar.
Hubungan antara ranting kebijakan bidang ilmu pengetahuan (sains), teknologi, dan inovasi beserta instrumen-instrumennya.
Sumber: Lundvall dan Borrás (2006) [5]


Demikianlah ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam pembangunan seluruh sektor perekonomian. Kepentingan pemerintahan ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi bukanlah masalah apakah para peneliti, teknolog, atau para cendekiawan membawa perubahan dengan cepat atau lambat, namun pada apakah suatu negara mencapai pembangunan berkelanjutan. 


Catatan:

[1] Lihat Fagerberg dan Goidnho (2003). Fagerberg, J., & Godinho, M. M. (2003). Innovation and catching-up. Ottawa, Kanada; Lokakarya “The Many Guises of Innovation: What we have learnt and where we are heading.”

[2] Intarakumnerd, P., Chairatana, P., & Tangchitpiboon, T. (2002). National innovation system in less successful developing countries: the case of Thailand. Research Policy, 31, 1445–1457. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/S0048-7333(02)00074-4

[3] Lihat misalnya Mankiw (2017). Mankiw, N. G. (2017). Principles of microeconomics (7th ed.). CENGAGE Learning Custom Publishing.

[4] Lihat Lee dan Lim (2001). Lee, K., & Lim, C. (2001). Technological regimes, catching-up and leapfrogging: findings from the Korean industries. Research Policy, 30(3), 459–483. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/S0048-7333(00)00088-3

[5] Lihat Lundvall dan Borrás (2006). Lundvall, B.-Å., & Borrás, S (2006). Science, Technology, and Innovation Policy . In S. Borrás (Ed.), The Oxford Handbook of Innovation. essay. Retrieved from https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199286805.003.0022.

13 Oktober 2023

lnstrumen Insentif Pajak Litbang: Solusi Memadai?


Konsep kunci. Suatu instrumen kebijakan iptek dan inovasi punya keistimewaan dapat berfungsi dalam berbagai isu masyarakat dan sektor pemerintahan.  Para pelaksananya harus mengevaluasi dan mengadvokasi agar relevan dengan lebih banyak isu.  Untuk meningkatkan keberhasilan, operator kebijakan insentif riset perlu mempertimbangkan instrumen halus (soft instruments) untuk menarik dukungan pemerintah sektoral.


Indonesia telah mengeluarkan PMK Nomor 153/PMK.010/2020 yang memberikan keringanan penghasilan bruto hingga 300% untuk biaya penelitian dan pengembangan (litbang) tertentu. Namun, apakah insentif ini cukup untuk mendorong investasi litbang di Indonesia?

Berdasarkan sejarah, insentif pajak riset yang pertama kali lahir di Amerika Serikat (AS) pada 1981 di tengah perang dagang mereka dengan Jepang, tidak langsung untuk mendorong industri menghasilkan produk baru. Kala itu, industri AS sudah menjadi pelaku dominan litbang nasional dan problem mereka adalah peraturan pajak yang ada tidak banyak menolong dalam memperhitungkan kegagalan atau keberhasilan litbang [1][2]. 

Arahan perundangan AS antara lain menolong mempercepat penyusutan aset litbang dan membantu perusahaan multinasional di sana untuk memenuhi ketentuan mengalokasikan sebagian litbang domestik terhadap pendapatan yang anak perusahaan hasiIkan di luar negeri [1]. Kemampuan teknologi yang tinggi akan memotivasi industri beroperasi secara global.

Kejadian ini menunjukkan bahwa insentif pajak riset bukanlah jenis instrumen yang tepat untuk mengatasi masalah umum sangat rendahnya minat industri berinvestasi litbang seperti Indonesia alami. Dengan reputasi punya daya kompetisi ekspor teknologi tinggi yang sangat rendah, kita bisa perkirakan hanya segelintir perusahaan di Indonesia yang aktif dalam riset hingga tak banyak industri swasta maupun BUMN yang punya kompetensi memanfaatkan insentif ini.

Secara prinsip, industri bukanlah jenis institusi yang harus melakukan litbang. Malah sesungguhnya adalah logis bagi seorang pengusaha untuk menghindar terlalu banyak berinvestasi di litbang karena misalnya adanya faktor keberadaan pemain lain yang sudah kuat [3].

Bila kita melihat model dari sejarah revolusi budaya inovasi di Asia Timur, yang perekonomian Indonesia lebih butuhkan adalah kampanye masif agar sebanyak-banyaknya industri mengetahui manajemen litbang dan aktif meningkatkan kandungan teknologi dalam bisnis hariannya. Setelah punya keyakinan lebih tinggi, niscaya industri akan memilih secara mandiri untuk lebih aktif berlitbang.

Karena itu, kita perlu bertanya mengenai dana publik yang sudah rutin mengalir bagi kegiatan litbang di perguruan tinggi dan lembaga riset. Dengan demikian, muncul pertanyaan kebijakan publik, mengapa pemerintahan iptek dan inovasi tidak mengoptimalkan dana riset publik, misalnya dengan memproduksi instrumen regulasi agar perguruan tinggi dan lembaga litbang lebih produktif menolong industri agar sanggup menerima transfer teknologi dari aktor asing sebagaimana kita perlukan?

Bagimanapun, dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas alternatif kebijakan selain insentif pajak. Saya akan membahas konsep pengelolaan instrumen kebijakan insentif pajak litbang bagi para analis kebijakan iptek dan inovasi supaya bisa mengoptimalkan instrumen ini.


Mengelola Instrumen

Di masa kini, tren dan peristiwa teknologi berperan vital dalam isu dan kepentingan sektor publik. Pemerintah yang aktif dalam iptek dan inovasi akan memiliki nama baik di mata investor teknologi.

Oleh karena itu, tentu kebijakan insentif pajak litbang tidak akan sia-sia bagi pembangunan Indonesia. Sesungguhnya, promosi investasi litbang akan meningkatkan kredibilitas dan kesinambungan sektor-sektor pembangunan secara keseluruhan. 

Namun, seperti pada jenis instrumen kebijakan inovasi lain, evaluasi dan advokasi perlu dilaksanakan untuk memastikan perangkat ini relevan dengan lebih banyak tipe isu kebijakan. Dengan demikian, ada peluang inovasi dapat lebih intensif terwujud dalam berbagai agenda pembangunan sektoral pemerintahan.

Di atas, penulis telah menunjukkan bahwa wawasan sejarah insentif litbang di AS akan membantu untuk memproyeksikan instrumen ini tidak efektif untuk mendorong inovasi di industri yang tidak punya sejarah aktif dalam riset. Dengan mengetahui detil seperti itu, para analis dan pengambil keputusan bisa menghindari narasi janji berlebihan (misalnya, menghasilkan "Elon Musk" versi Indonesia) tentang dampak instrumen kebijakan insentif ini kelak.

Walaupun dampaknya terbatas, para pengelola insentif perlu memperhitungkan agar semua sektor pemerintahan Indonesia dapat memanfaatkan insentif pajak litbang. Dari bidang pertahanan keamanan ke isu pemanasan global, pengelolaan sumber daya alam, sampai kesiapan Indonesia menghadapi pandemi berikutnya, dan lain sebagainya.

Meskipun target utama instrumen adalah korporasi, namun kebijakan insentif pajak litbang tidak boleh hanya menguntungkan industri. Kebijakan harus menghasilkan transformasi publik secara utuh.

Penting untuk diperhatikan, dalam mencari inspirasi studi evaluasi dari studi kasus luar negeri, para analis perlu memahami bahwa manifestasi pilihan instrumen kebijakan di antara beberapa negara bisa sangat berbeda meskipun tujuannya tampak sama (lihat grafik di bawah) [4]. Oleh karena itu, dalam studi perbandingan, para analis perlu menentukan agenda pemberdayaan publik yang instrumen bisa jalankan, problem teknologis apa yang hendak dipecahkan, dan bagaimana menguji keberhasilannya.



Klik gambar untuk memperbesar.
Contoh perbedaan hasil capaian kebijakan insentif litbang bagi sekor UKM di beberapa negara. Kondisi dan cara pandang berbagai pemerintahan dapat sangat berbeda meskipun pada konteks serupa hingga sulit menyimpul
kan begitu saja siapa yang prestasinya terbaik di sini.



Akhirnya, karena tingkat keberhasilan kebijakan iptek dan inovasi akan diukur dari keterlibatan pemerintah sektoral, maka para operator kebijakan insentif riset perlu mempertimbangkan melengkapinya dengan instrumen halus (soft instruments) untuk menarik dukungan bidang-bidang pemerintahan yang lebih luas. Instrumen tipe ini bersifat sukarela dan tidak memaksa, melainkan menawarkan rekomendasi, permohonan normatif, atau perjanjian sukarela. [4].

Tantangan kebijakan iptek dan inovasi Indonesia tidaklah kecil. Tiap pihak yang ingin berkontribusi mengatasinya perlu bergotong-royong dengan pihak lain untuk meninggalkan jejak memadai.

Catatan:

[1] Lihat Bozeman dan Link (1985). Bozeman, B., & Link, A. (1985). Public support for private R&D: The case of the research tax credit. Journal of Policy Analysis and Management, 4(3), 370–382. https://doi.org/https://doi.org/10.2307/3324191

[2] Lihat Federal Register (2013). Federal Register. (2013, September 6). Research Expenditures: A Proposed Rule by the Internal Revenue Service on 09/06/2013. https://www.federalregister.gov/documents/2013/09/06/2013-21737/research-expenditures

[3] Lihat Ahuja dan Noveli (2017). Ahuja, G., & Novelli, E. (2017). (Commentary) Activity Overinvestment: The Case of R&D. Journal of Management, 43(8), 2456–2468. https://doi.org/https://doi.org/10.1177/014920631769577

[4] Lihat Borrás dan Edquist (2013). Borrás, S., & Edquist, C. (2013). The choice of innovation policy instruments. Technological Forecasting & Social Change, 80(8), 1513–1522. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.techfore.2013.03.002

Mimpi Caleg

Mimpi para caleg tercermin jelas di jalanan, di mana poster-poster mereka berderet bergantungan. Banyak wajah baru politisi menyibak, entah ...