Informasi Lain tentang Saya

10 November 2023

Perguruan Tinggi dan Lembaga Riset, Apa Bedanya?



Konsep kunci. Tulisan ini mendeskripsikan mengenai perbedaan fungsi antara perguruan tinggi dan lembaga riset sehingga pendanaan atas mereka dalam waktu sama tidaklah bersifat duplikatif. Karena sejarahnya, perguruan tinggi mempunyai karakter lebih memetingkan kebebasan. Sebaliknya, peran lembaga riset lebih terikat pada arahan pemerintah atau misi formal yang lebih spesifik. Meskipun di dunia tidak ada standar tunggal untuk menilai keberhasilan lembaga riset di berbagai negara, namun para analis bisa mempelajari bagaimana peran institusi tersebut dalam menolong negara mengejar ketertinggalan. 


Masyarakat umum, bahkan tokoh-tokoh elit dalam opini publiknya, seringkali memperlakukan perguruan tinggi dan lembaga riset sebagai entitas yang punya peran identik, yaitu menghasilkan pengetahuan baru [1]. Namun, bila kita mengamati secara seksama, sulit untuk membedakan dengan tegas perbedaan fungsi di antara keduanya.

Bagi para analis kebijakan, pertanyaan menarik dalam hal ini adalah mengapa pemerintah-pemerintah di berbagai negara dunia mendirikan badan riset sekalipun mereka biasanya sudah memiliki banyak perguruan tinggi yang rutin melaksanakan penelitian? Mengapa pemerintah harus membiayai satu aktivitas sama di dua jenis lembaga berbeda?

Bagi analis kebijakan, penting untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut karena dapat membantu mereka memberikan saran kebijakan yang lebih efesien dan mengoptimalkan anggaran yang terbatas.

Perlu pembaca perhatikan, tulisan ini tidak bertujuan normatif, bukan untuk menjelaskan apa yang “seharusnya terjadi” di Indonesia. Lebih tepatnya, tulisan ini bertujuan memperkaya wawasan para analis, agar mereka bisa memberikan saran kebijakan yang menghargai rasa percaya dan hormat publik terhadap ilmu pengetahuan, teknologi (iptek), dan inovasi.

Evolusi Peran Perguruan Tinggi



Budaya perguruan tinggi telah berkembang dan menyebar selama hampir seribu tahun. Budaya simbolik seperti dalam jubah berwarna gelap pada acara wisuda adalah serupa di perguran tinggi di berbagai negara di dunia. Materi dan substansi yang sebangun menyebabkan kita dapat menggunakan institusi perguruan tinggi di negara maju sebagai model bagi pemikiran kebijakan di Indonesia (foto: ilustrasi AI)


Pada tahap awal, titik mula pendirian perguruan tinggi tercatat dalam sejarah ketika di kota Bologna mulai tumbuh kebiasaan berorganisasi di kalangan masyarakat di abad ke-12. Pedagang dan pengrajin membentuk persatuan-perserikatan, sementara para pelajar membentuk universitas yang secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai "komunitas pembelajar" [3].

Para penguasa setempat pada masa itu melihat universitas sebagai elemen penting dalam menyusun tatanan hukum dan sistem perundangan, juga sebagai alat untuk menarik kekayaan dan meningkatkan prestise kota. Mereka lalu memberikan dosen dan mahasiswa perlindungan serta perlakuan istimewa dalam ranah hukum, dan Universitas Bologna pun selama beberapa ratus tahun menjadi panutan bagi lembaga-lembaga serupa di wilayah lain [3].

Para penguasa keagamaan atau wilayah kemudian mendirikan lembaga serupa, sebagian untuk mempelajari berbagai keterampilan tinggi (liberal arts), lainnya hanya hukum dan kedokteran. Pada umumnya, universitas-universitas tersebut mengakui tunduk pada kewenangan otoritas wilayah dan keagamaan setempat [3].

Walaupun berbeda dengan pola yang berlaku pada zaman kita, seiring berjalannya waktu, berbagai unsur yang membentuk karakter universitas modern mulai terbentuk. Perubahan tersebut mencakup regulasi dalam merekrut pengajar, sistem kompensasi dosen, distribusi buku pelajaran, prosedur penerimaan mahasiswa dan pengajar dari luar negeri, simbol identitas (pakaian, bendera, dan pernik lainnya), proses evaluasi, pengeluaran ijazah, penamaan gelar akademik, operasional asrama, manajemen bangunan, struktur administratif universitas, otonomi perguruan tinggi, penentuan kurikulum, metode belajar skolastik (memanfaatkan logika untuk untuk menafsirkan dan menyatukan berbagai teks), penyerapan pengetahuan dari praktisi di luar dunia akademik, serta harapan-harapan seputar peran dan kualitas lulusan dalam masyarakat [3].

Ketika itu, studi hukum dianggap sebagai disiplin ilmu yang sangat menjanjikan. Bidang ini mempersiapkan mahasiswa untuk berkarir di pemerintahan, baik dalam ranah keagamaan (ecclesiastical) maupun sipil [3].

Hal mendasar yang membedakan perguruan tinggi pada masa awal dengan masa kini adalah, pada umumnya, mereka tidak mengajarkan materi-materi praktikal seperti arsitektur, peternakan, dan pembedahan (meskipun kedokteran sudah termasuk dalam program). Namun, perkembangan pola dan topik pengajaran di perguruan tinggi merupakan pencerminan perubahan dalam tatanan sosial masyarakat [3].

Di abad ke-14, kelompok intelektual humanis yang berkumpul di luar universitas menciptakan Era Pencerahan (Renaissance). Di abad berikutnya, kalangan akademik sudah mengadopsi gaya humanis yang lebih lentur, persuasif, dan kaya dalam berekspresi sehingga mudah menyerap ke berbagai komunitas [3].

Perlengkapan intelektual yang humanisme berikan ternyata juga menyebabkan para akademisi menjadi lebih kritis terhadap bahan-bahan pembelajaran tradisional. Kebiasaan baru ini akhirnya mempengaruhi reformasi dalam struktur bidang studi, yang pada akhirnya menghasilkan bentrokan dengan otoritas, seperti yang tampak pada kasus Galileo Galilei yang memperkenalkan teori heliosentrik [3].



Saat ini, semua kalangan bebas belajar ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) untuk kepentingan hidupnya sendiri. Kebebasan tersebut merupakan pengaruh dari perkembangan budaya perguruan tinggi yang menyebar ke masyarakat luas (foto: ilustrasi AI)


Ide-ide segar yang cendekiawan universitas bawakan sejatinya mengguncang fondasi pranata masyarakat karena menjelaskan bahwa hukum alam memiliki keabadian yang lebih kuat dari peraturan sosial di masyarakat. Cara pandang baru itu ikut mendorong lahirnya Deklarasi Kemerdekaan Amerika pada tahun 1776 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara Perancis tahun 1779 yang merupakan seruan untuk mengakhiri status istimewa kelompok-kelompok yang saat itu berkuasa [3].

Kalangan universitas yang sebelumnya submisif di bawah otoritas, akhirnya menyuarakan perubahan kekuasaan. Mereka pun berekspansi, membentuk organisasi semacam Royal Society di Inggris Raya dan Akademi Sains Prancis - institusi serupa kemudian berdiri di negara-negara lain, yang mempromosikan dan memanfaatkan talenta ilmiah dan seni [3].

Tidak hanya di situ, di abad ke-19, semakin banyak perguruan tinggi yang berdiri langsung dengan tujuan praktikal atau vokasi sehingga makin jauh meninggalkan kebiasaan berorientasi pada kekuasaan. Contoh perguruan tinggi tersebut adalah Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan California Institute of Technology (Caltech) [4]. 

Saat ini, semakin banyak negara maju dan berkembang menempatkan perguruan tinggi sebagai instrumen pembangunan dan perubahan ekonomi berbasis pengetahuan. Sejak tahun 1970-an, pemerintah berbagai negara telah berupaya meningkatkan laju transfer kemajuan penelitian akademis ke industri [5].

Berbagai variasi peran perguruan tinggi dalam sistem inovasi nasional antara lain [5]:
  • Menyebarkan informasi iptek hingga mengefesienkan litbang industri;
  • Menyediakan keahlian (dalam figur dosen) dan tenaga kerja;
  • Memasok prototipe untuk produk dan proses baru;
  • Menjadi konsultan dan mitra litbang bagi industri, termasuk bagi perusahaan yang bergerak di sektor berbasis ilmu pengetahuan;
  • Mengembangkan kawasan komersialisasi teknologi (menghasilkan industri unggulan daerah);
  • Memperkuat karakter sektor unggulan daerah.
Perguruan tinggi juga dapat bertindak menyebarluaskan informasi teknologi industri bagi publik dalam bentuk paten teknologi yang menjadi referensi litbang bagi masyarakat luas [6]. Tentu saja ini bisa terjadi manakala industri setempat sudah memiliki kebiasaan atau kemampuan menghitung profitabilitas investasi litbang.

Selain itu, mengambil inspirasi dari kebijakan negara maju (tepatnya Bayh—Dole Act), analis kebijakan bisa mengevaluasi sejauh mana tingkat perhatian perguruan tinggi lokal terhadap manajemen aset hak kekayaan intelektualnya. Namun, tanpa adanya kesadaran di industri, sulit untuk memproyeksikan perguruan tinggi dengaan karakter kebebasannya yang tinggi dapat aktif melakukan transfer teknologi ke industri.

Dengan kata lain, bila suatu negara berkembang ingin meniru keberhasillan MIT atau Caltech, misalnya, mereka perlu mengingat bahwa institusi-institusi tersebut berdiri di wilayah yang sudah memiliki industri lebih matang dan beragam sehingga punya permintaan lebih tinggi terhadap modal iptek.

Lembaga Riset

Tidak seperti perguruan tinggi, lembaga riset (public research institute) tidak punya citra seragam. Ada negara yang sangat mengandalkan mereka, ada yang tidak [7]. 

Tidak seperti perguruan tinggi yang memancarkan citra kosmopolitan dan egaliter, lembaga riset memiliki peran yang bersifat khusus, berdasarkan arahan pemerintah. Ada yang mendapat tugas di bidang ilmu dasar, lainnya ada yang fokus ke tataran terapan mengikuti permintaan pasar, sehingga aktivitas riset di lembaga riset lebih terfokus daripada di perguruan tinggi [7][8].

Di negara maju, beberapa tren perilaku dan masalah lembaga riset adalah sebagai berikut [8]:
  • Keterbukaan dan responsif: Lembaga riset diharapkan meningkatkan keterbukaan dan respons terhadap kebutuhan pasar;
  • Bersaing dalam pendanaan: Lembaga riset semakin mengandalkan pada berbagai pendanaan riset yang kompetitif;
  • Tantangan sumber daya manusia: Mengalami tantangan lebih besar dalam mempertahankan dan mengoptimalkan sumber daya manusia (SDM);
  • Jaringan pribadi: Jaringan pribadi SDM ke komunitas industri dan internasional merupakan modal bagi lembaga;
  • Relevansi lembaga: Pengarahan dan tata kelola yang efektif sangat penting untuk memastikan relevansi lembaga;
  • Motivasi pemerintah: Pemerintah perlu mendorong lembaga lebih sukses dalam evaluasinya melalui peningkatan otonomi, kolaborasi, dan daya tanggap terhadap pemangku kepentingan [8].
Bila mendapat tugas mengevaluasi lembaga riset, para analis kebijakan perlu memperhatikan bahwa bahwa mereka tidak bisa menetapkan ukuran keberhasilan secara seragam. Setiap lembaga riset memiliki karakteristik dan tujuan yang berbeda.

Sebagai contoh, beberapa lembaga riset mungkin tidak bisa menghasilkan banyak paten, namun lebih berfokus pada publikasi ilmiah karena mereka berfungsi melayani kepentingan masyarakat luas dalam bidang tertentu. Sementara itu, mungkin ada lembaga lain yang memerlukan evaluasi kualitatif karena sejarah perkembangan mereka telah mengikuti perubahan dalam kompleksitas ekonomi negara [8].

Para analis juga bisa memetik pelajaran tentang bagaimana intervensi pemerintah mengatasi hambatan inovasi di sektor industri dengan memeriksa operasi lembaga riset di negara maju. Peran lembaga riset sangat relevan dalam mengejar ketertinggalan, dan hal ini dapat mencakup antara lain [8]:
  • Menolong industri lokal memahami teknologi canggih dari luar negeri sehingga meningkatkan kelajuan pembangunan ekonomi;
  • Menyiapkan berbagai pengetahuan atas teknologi baru yang masih berkembang di dunia sebagai bagian strategi mempercepat adaptasi oleh industri lokal;
  • Menciptakan platform jaringan antar industri hingga bisa menciptakan rantai industri lebih utuh atas suatu jenis teknologi yang mash berkembang;
  • Membantu industri menterjemahkan berbagai invensi baru kedalam tataran komersial hingga meningkatkan daya kompetisi ekspor mereka;
  • Menghimpun dukungan pemerintah (termasuk dalam format yang tersedia dalam berbagai program pemerintah) dan perguruan tinggi agar bisa menjawab tuntutan spesifik industri;
  • Memantau perkembangan teknologi di negara-negara termaju di dunia.
Dengan mempelajari dan menerapkan praktik terbaik yang ada di seluruh dunia, pemerintah dapat mengharapkan bahwa lembaga riset akan mampu mencapai prestasi yang spesifik, termasuk membuka jalan bagi perguruan tinggi untuk terlibat lebih dalam dunia nyata. Namun, untuk mencapai tujuan ini, lembaga riset perlu mendapatkan pembinaan berkualitas dari pemerintah dalam bentuk peraturan, pendanaan, serta penetapan target jangka pendek dan panjang yang jelas [8].

Semoga sekarang pembaca sudah dapat menangkap perbedaan antara perguruan tinggi dan lembaga riset, sehingga memahami mengapa pemerintahan di dunia mendirikan keduanya meskipun dalam aktivitas serupa.


Catatan:

[1] Lihat misalnya Kesowo (2021) dan Wiratman (2022)

Kesowo, B. (2021, Juni 04). BRIN, Sebuah Sisi Pandang. Kompas. https://www.kompas.id/baca/opini/2021/06/04/brin-sebuah-sisi-pandang/

Wiratraman, H. P. (2022, Januari 19). Independensi Lembaga Riset . Kompas. https://www.kompas.id/baca/opini/2022/01/18/independensi-lembaga-riset

[2] Cukup banyak diskusi ilmiah yang bisa menjabarkan alasan mengapa moralitas pemerintahan akan cenderung tidak bisa menerima adanya duplikasi penugasan lembaga yang aktivitasnya serupa. Lihat misalnya  dalam Landau (1969). Landau, M. (1969). Redundancy, Rationality, and the Problem of Duplication and Overlap. Public Administration Review, 29(4). https://doi.org/https://doi.org/10.2307/973247

[3] Ada cukup banyak referensi mengenai sejarah perguruan tinggi (universitas), misalnya Moore (2018). Moore, J. C. (2018). A Brief History of Universities. Palgrave Pivot Cham. https://doi.org/10.1007/978-3-030-01319-6

[4] Lihat sumber-sumber di situs MIT dan Caltech:

Caltech Gets Its Start in Old Town Pasadena. Caltech. (n.d.). https://www.caltech.edu/map/landmark_ajax/563/history/details

MIT Facts: MIT History. MIT Facts | MIT History. (n.d.). https://libraries.mit.edu/mithistory/mit-facts/

[5] Lihat Mowery dan Sampat (2006). Mowery, David C., and Bhaven N. Sampat, ' Universities in National Innovation Systems', in Jan Fagerberg, and David C. Mowery (eds), The Oxford Handbook of Innovation (2006), https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199286805.003.0008.

[6] Lihat Suzuki dkk (2015). Suzuki, J., Tsukada, N., & Goto, A. (2015). Role of Public Research Institutes in Japan’s National Innovation System: Case Study of AIST, RIKEN and JAXA. Science, Technology and Society, 20(2). https://doi.org/https://doi.org/10.1177/09717218155797

[7] Lihat Edquist (2006). Edquist, Charles, ' Systems of Innovation: Perspectives and Challenges', in Jan Fagerberg, and David C. Mowery (eds), The Oxford Handbook of Innovation (2006), https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199286805.003.0007.

[8] Lihat Intarakumnerd dan Goto (2018). Intarakumnerd, P., & Goto, A. (2018). Role of public research institutes in national innovation systems in industrialized countries: The cases of Fraunhofer, NIST, CSIRO, AIST, and ITRI. Research Policy, 47(7), 1309–1320. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.respol.2018.04.011