Informasi Lain tentang Saya

27 September 2023

Membaca Perbedaan Strategi Indonesia-Vietnam

Indonesia dan Vietnam merupakan dua negara di Asia Tenggara yang memiliki potensi besar di bidang riset iptek dan inovasi. Namun, keduanya tampaknya memiliki strategi berbeda dalam pengembangan riset ilmiah.

Berdasarkan data dari SciVal, kita segera tahu Indonesia unggul dari Vietnam dalam jumlah penulis publikasi ilmiah internasional. Namun, analisis lebih mendalam mengungkapkan perbedaan yang signifikan antara kedua negara ini dalam hal riset ilmiah.

Bila kita ringkaskan di awal, hasilnya Indonesia kalah dari Vietnam dalam jumlah kutipan per publikasi, persentase publikasi di jurnal top 10%, dan pemilihan mitra kolaborasi internasional.

Pertama-tama, data menunjukkan Indonesia memiliki 285.418 orang penulis publikasi ilmiah, sedangkan Vietnam hanya memiliki 83.579 penulis. Keunggulan ini wajar karena sesuai rasio populasi Indonesia dan Vietnam yang nilainya sekitar tiga banding satu.

Namun, Indonesia hanya memiliki 5,4 kutipan per publikasi, sedangkan Vietnam mencapai 14,6 kutipan per publikasi. Vietnam juga memiliki persentase publikasi yang masuk ke dalam jurnal-jurnal top 10% yang lebih tinggi, yaitu sekitar 21,3%, sementara Indonesia hanya memperoleh 5,8%.

Perbedaan lainnya terletak pada kolaborasi internasional. Di Indonesia, 78,9% kerjasama riset terjadi dengan  mitra lokal,  sedangkan di Vietnam, kolaborasi penelitian lebih sering terjadi dengan rekan-rekan internasional, mencapai 62,2%.


Klik gambar untuk memperbesar.


Data SciVal juga mengindikasikan bahwa pemerintah Indonesia, dalam kebijakan iptek dan inovasinya, lebih mengarah pada penelitian yang beragam. Sementara Vietnam sedikit lebih selektif dalam membina sumber daya manusia di bidang STEM (science, technology, engineering, and mathematics) yang memiliki aplikasi industri yang lebih kuat.

Kita bisa mengintepretasikan informasi tadi bahwa pemerintahan kebijakan iptek dan inovasi Indonesia telah memilih melebarkan spektrum bidang ilmu, sedangkan Vietnam lebih selektif membina sumber daya manusia ke bidang STEM yang punya orientasi lebih dekat ke aplikasi industri.



Klik gambar untuk memperbesar.


Namun, penting untuk dicatat bahwa data dari SciVal menunjukkan bahwa porsi kolaborasi antara dunia akademik dan industri di kedua negara masih sangat rendah (Indonesia 0,7%, Vietnam 1,6%). Meskipun demikian, kita harus mengingat bahwa jenis riset hulu yang SciVal catat lebih berfokus pada aspek akademik hingga bahkan di negara kuat seperti Amerika Serikat, total insiden kolaborasi dengan industri hanya sekitar 4,8%.

Informasi dari Bank Dunia akan lebih jelas menggambarkan bagaimana industri di Indonesia dan Vietnam menyerap ilmu pengetahuan baru. Data Bank Dunia ini mencerminkan bahwa Indonesia menghadapi hambatan lebih besar dalam mengalirkan pengetahuan baru ke industri sehingga gagal meningkatkan porsi ekspor teknologi tinggi.

Data Bank Dunia menunjukkan bahwa porsi ekspor teknologi tinggi Indonesia stagnan di bawah 10% dari total ekspor komoditas manufaktur selama 2010-2021. Sebaliknya, Vietnam, dengan pertumbuhan tahunan rata-rata 3,15%, berhasil mencatatkan perkembangan positif, sedangkan Indonesia justru mengalami penurunan sebesar -4,38%.


Klik grafik untuk memperbesar.


Bila angka porsi tadi kita transformasikan menjadi nilai komoditas, maka kekalahan Indonesia semakin jelas terlihat. Sepanjang periode 2010 hingga 2021, nilai Dollar ekspor teknologi tinggi dari Indonesia rata-rata pertahun hanya meningkat 0,87%, sementara pertumbuhan Vietnam mencapai 23,09% (!).


Klik grafik untuk memperbesar.

 
Pada pandangan awal, dengan jumlah sumber daya manusia (SDM) yang lebih besar, Indonesia mungkin terlihat lebih sanggup menghadapi persaingan di ranah teknologi dengan negara-negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, dan China. Kenyataannya, Vietnam ada di atas angin dalam memperbaiki kapabilitas bersaing dalam kualitas riset dan industri teknologi tinggi karena menekankan kolaborasi internasional.

Tak terlihat di data SciVal dan Bank Dunia tadi, berbagai sumber menunjukkan pemerintah Vietnam rajin menarik investasi industri dan litbang swasta asing. Baru-baru ini, Vietnam berhasil menghela komitmen investasi korporasi teknologis dari berbagai negara seperti dari Samsung, Apple dan mitra-mitranya (Foxconn, Luxshare, dan GoerTek), Pegatron, BYD, OPPO, Quanta, Amkor, Brose, Xiaomi, Panasonic, dan Compal (Ryder, 2023). 

Kita bisa membaca upaya kebijakan menambah arus masuk investasi di bidang teknologi ini turut menyumbang terciptanya iklim positif mendorong akademia Vietnam berkolaborasi dengan mitra asing. 

Dalam konsepsi kebijakan iptek dan inovasi, kondisi ini adalah bagian upaya pemerintah Vietnam untuk menciptakan jaringan dengan para pemilik teknologi termutakhir sekaligus membuka pasar yang cukup canggih untuk menyerap hasil-hasil riset mereka. Selain itu, pemerintah juga memastikan pasokan keterampilan, layanan, dan input yang mereka butuhkan termasuk dalam kepentingan sistem inovasi di dalam negeri [1].

Indonesia perlu belajar dari Vietnam untuk mempercepat kemajuan teknologinya. Salah satu keunggulan Vietnam adalah tingginya relevansi internasional dalam riset dan industri teknologi tinggi. Untuk mengejar ketertinggalan, Indonesia perlu menurunkan hambatan investasi industri asing di sektor teknologi tinggi dan meningkatkan profil internasional sektor keilmiahannya.  



Catatan:
[1] Lihat Fagerberg & Godinho (2004) (Fagerberg, J., & Godinho, M. M. (2004). Innovation and Catching-up. Dalam The Oxford Handbook of Innovation (pp. 514–542). essay, Oxford University Press.)



22 September 2023

(Data SciVal) Indonesia Perlu Tingkatkan Penerimaan Dana Riset Asing

Media kerap mencatat tantangan besar yang masih menghantui Indonesia adalah rendahnya anggaran riset nasional. Solusi yang mungkin layak pemerintahan iptek dan inovasi pertimbangkan di tanah air adalah menarik dana penelitian dari sumber-sumber asing.

Data dari SciVal, sebuah perangkat daring yang menggunakan data Scopus melacak kinerja penelitian ribuan lembaga riset di seluruh dunia, mengungkapkan bahwa lembaga pelaku litbang di Indonesia bersama dengan negara-negara ASEAN lainnya sesungguhnya sudah seringkali mengandalkan dana hibah riset dari luar negeri atau kawasan regional Asia Tenggara.

Menurut SciVal, selama periode 2013 hingga 2022, Singapura berada di puncak daftar ASEAN dengan penerimaan dana internasional sekitar Rp 6,3 triliun [1]. Sementara itu, total penerimaan yang diterima oleh lembaga-lembaga riset di Indonesia di rentang waktu sama masih hanya sekitar Rp 2,5 triliun.


Klik grafik untuk memperbesar.



Klik grafik untuk memperbesar.


Dana riset asing ini  mengalir ke berbagai lembaga di Indonesia, dengan dominasi peruntukan adalah bagi penelitian di bidang ilmu sosial. Sayangnya, intensitas keberhasilan cabang ilmu fisika dan astronomi menarik dana hibah riset asing masih rendah.



Klik grafik untuk memperbesar.



Klik grafik untuk memperbesar.

Fenomena di Indonesia ini cukup berbeda dengan Singapura, di mana rekayasa teknologi menjadi fokus utama. Keberhasilan bidang rekayasa teknologi di Singapura akan menggambarkan lebih banyaknya upaya kelompok rekayasa teknologi di National University of Singapore (NUS) yang merupakan pengumpul unit hibah terbanyak di perguruan tinggi tersebut (tidak digambarkan di sini).



Klik grafik untuk memperbesar.


Keberhasilan Singapura dalam menarik dana riset internasional bisa menjadi inspirasi bagi Indonesia. Dengan jumlah penduduk yang jauh lebih besar, Indonesia memiliki potensi talenta manusia juga jauh lebih signifikan untuk menjadi penarik dana riset global terbesar di ASEAN atau bahkan di Asia.

Pemerintahan iptek dan inovasi Indonesia perlu membuka pintu diplomasi lebih besar dalam berbagai kesempatan bilataeral dan multilateral dengan para donor agar dana riset asing bisa mengalir lebih banyak ke Indonesia.

Masih dari SciVal, contoh lembaga asing yang sudah memberikan dana riset ke institusi di ASEAN atau Indonesia khususnya antara lain Australian Research Council, National Science Foundation (NSF) Amerika Serikat, National Natural Science Foundation of China, Wellcome Trust Inggris, dan lain sebagainya. Perlu disebut, Uni Eropa juga memiliki program pendanaan yang telah berkontribusi bagi riset ASEAN dan Indonesia.

Di lain pihak, berbagai lembaga di Indonesia yang termasuk penerima terbanyak dana riset asing adalah Universitas Indonesia (17 penghargaan hibah), ITB (11), Lembaga Eijkman (8), UGM (8), Universitas Katolik Atma Jaya (4), CIFOR (4), IPB (3), ITS (3), Universitas Bina Nusantara (1), dan Universitas Brawijaya (1), serta beberapa perguruan tinggi lain yang juga pernah setidaknya sekali menerima dana asing di periode 2013 hingga 2022.

19 September 2023

Amerika, China, Rusia, Mana untuk Indonesia?

Kita saat ini berada dalam era yang menantang namun penuh dengan potensi. Pada masa lalu, mungkin kita beranggapan bahwa dalam era globalisasi, nilai pentingnya kelokalan dalam mencapai keunggulan kompetitif telah berkurang. Globalisasi sendiri merupakan hasil dari kemajuan teknologi yang luar biasa. Perkembangan pesat dalam sistem komunikasi dan transportasi telah membuka pintu lebar pasar bagi seluruh masyarakat untuk menikmati berbagai barang dan layanan dari seluruh dunia. Meskipun di Indonesia kita mungkin tidak memproduksi semua teknologi itu sendiri, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat diakses melalui pasar internasional jelas memberikan kepuasan tersendiri sebagai konsumen.

Namun, situasinya sekarang berubah dengan cepat. Meskipun globalisasi terus berlanjut berkat perkembangan teknologi yang masih berjalan, kita juga dihadapkan pada tantangan baru. Konflik geopolitik seperti yang terjadi antara Rusia dan Ukraina telah memengaruhi perekonomian global dan meningkatkan ketegangan persaingan strategis antara Amerika Serikat dan China. Dampaknya, fragmentasi politik global semakin nyata, bahkan peperangan di Pasifik bisa meletus, dan itu semua mengubah dinamika perekonomian di seluruh dunia saat ini.

Kenyataannya, bahkan sebelum guncangan global yang baru-baru ini terjadi, perkembangan ekonomi sebetulnya selalu terkait erat dengan batasan-batasan tertentu. Contoh yang nyata terlihat di kawasan ASEAN, di mana Singapura menonjol sebagai satu-satunya negara dengan pendapatan tinggi. Meskipun Singapura secara geografis berdekatan dengan Indonesia, hubungan kuat antara perguruan tinggi, industri, dan pemerintah di sana tidak lantas memberikan manfaat bagi kemajuan inovasi di Indonesia. Bagi Indonesia atau negara berkembang manapun, globalisasi tidak pernah menjamin lahirnya kemandiran teknologi. Dampak kebijakan inovasi selalu cenderung terbatas pada tingkat keahlian pengembang kebijakan tampilkan di masing-masing wilayah.
 
Penting untuk diingat bahwa dalam menghadapi kompleksitas masalah yang dihadapi oleh masyarakat, terutama dalam konteks iptek dan inovasi, kolaborasi adalah kunci. Sejarah menunjukkan bahwa kolaborasi, baik di tataran antara negara maupun lembaga di dalam negeri, merupakan landasan kemajuan teknologi dalam era modern. China, sebagai contoh, telah menerapkan strategi cerdik melibatkan kolaborasi dengan mitra dagang asing untuk mengakses pengetahuan iptek yang sangat penting sebelum akhirnya menjadi salah satu pemimpin global teknologi. Dalam hal ini, China hanya mengikuti jejak menciptakan kemajuan yang Jepang, Korsel, dan Singapura sudah lakukan.

Dari perspektif para analis kebijakan iptek dan inovasi, kami memiliki kemampuan untuk memahami dan mengatasi kompleksitas masalah yang terkait dengan pengembangan iptek dan inovasi. Namun, satu hal yang harus diingat adalah bahwa prasyarat utama dalam membentuk kebijakan iptek dan inovasi yang kuat adalah memiliki pemahaman global yang memadai. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa dalam dunia yang semakin terhubung ini, tidak ada satu negara pun yang mampu memonopoli seluruh perkembangan pengetahuan secara eksklusif. Tidak peduli seberapa besar negara tersebut, baik itu Amerika Serikat atau China, atau negara mana pun di dunia (lihat grafik "10 Besar Negara Produsen Publikasi Ilmiah Internasional dan Indonesia (2020 - 2022, Data Scopus)" di bawah.
 



Klik grafik untuk memperbesar.

Jadi jelaslah, saat ini kita berada dalam era yang menuntut pemerintahan iptek Indonesia untuk menunjukkan punya kemampuan lebih membaca dinamika dan kepentingan bangsa lain. Kenyataan tantangan geopolitik global saat ini harus bisa pemerintah ubah menjadi berbagai kesempatan yang membuka jalan untuk mengembangkan iptek. Keberhasilan dalam hal ini akan memengaruhi kesuksesan misalnya dalam kepentingan menarik perhatian para ahli asing yang memiliki pengetahuan yang sangat berharga bagi sektor industri Indonesia, menciptakan keterkaitan lebih erat antara riset dan industri, memperluas kolaborasi dalam dunia pendidikan tinggi, dan menarik investasi asing dalam penelitian dan pengembangan. Poin terakhir ini dapat memperkuat profil serta pendapatan para ilmuwan dan pengembang teknologi di Indonesia tanpa harus beremigrasi ke luar negeri, yang menciptakan dampak  talenta mengering (brain drain) di tanah air. Dengan begitu, kita dapat bersama-sama memanfaatkan potensi iptek dan inovasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bangsa Indonesia.


Di beberapa posting kedepan, saya akan mencoba berkontribusi pada kepentingan tersebut.


(In memory of my sister, Kakak Dian Manginta, who had her birthday today)